Ambil Bagian dalam Pelestarian Lingkungan
Cerita, Kebaikan
Ini saya ambil dari milis yang juga mengambil dari milis lain sehingga tidak diketahui asal-usulnya tetapi baik untuk disebarluaskan.
1. Jangan menggunakan listrik untuk penerangan atau peralatan kecuali jika anda benar-bnar sedang menggunakannya, jika tidak menggunakannya matikanlah !
2. Menggunakan lampu luorescent (neon) yang hemat energi.
3. Pergunakan penerangan, pembangkit listrik, unit-unit pemanas bertenaga surya.
4. Manfaatkan lebih banyak penerangan cahaya alam.
5. Pergunakan ventilasi yang struktural untuk penyejuk ruangan daripada menggunakan Air Condition (AC).
6. Pergunakan air dingin, bukan air panas.
7. Pastikan peralatan bertenaga listrik tetap efisien dan terawat dengan baik.
8. Pengendalian penerangan, alat pendingin udara secara otomatis, misal dengan alat sensor cahaya.
9. Pergunakan alat-alat pematul cahaya untuk menggantikan lampu penerangan.
10. Pergunakan film pelapis kaca atau rayban untuk mengurangi panas matahari.
11. Tanamlah tanaman sebanyak mungin di kebun anda untuk mengurangi karbondiosida.
12. Jangan membakar apa saja, bahkan rokok.
13. Lengkapi mobil atau motor anda dengan katalisator.
14. Jika anda menghentikan kendaraan dalam waktu yang tidak lama, jangan matikan mesin kendaraan anda.
15. Kurangi bawaan pada kendaraan anda untuk mengurangi beban, bahkan mengeluarkan sebatang pensil dari kendaraanpun akan membantu.
16. Jangan membuang sesuatu yang dapat di daur ulang, seperti kaleng aluminium dan kertas. Simpan dan berikan pemulung untuk dijual kembali.
17. Meminimalisir penggunaan styrofoam (gabus
sintetik) untuk bungkus makanan.
18. Lihat dan periksa kembali jika anda menggunakan aerosol, cat, AC, apakah mengandung khlorofluorokarbon (CFC).
19. Jangan beli barang apapun yang langsung dibuang sesudah dipakai sekali, jika ada barang sejenis yang dapat dibeli sebagai investasi jangka panjang.
20. Belilah produk yang anda sukai sehingga produk tersebut tidak perlu diganti sampai benar-benar rusak dan tidak dapat dipakai kembali.
21. Cobalah untuk tidak memiliki barang yang hanya memiliki nilai estetika saja.
22. Berhati-hati dengan barang plastik yang anda beli karena ada beberapa jenis plastik tidak dapat di daur ulang.
23. Bawalah tas anda sendiri jika hendak berbelanja yang terbuat dari kain atau kanvas untuk mengurangi produk plastik.
24. Katakan pada seseorang jika anda melihatnya membuang sampah secara sembarangan.
25. Jangan sekali-sekali memotong tanaman atau menebang pohon karena tetumbuhan membantu menyelamatkan bumi.
26. Sirami taman anda dengan air hujan, buat sistem tadah hujan.
27. Pergunakan air sehemat mungkin untuk mencuci kendaraan dan menyiram kebun anda.
28. Pisahkan sampah yang dapat di daur ulang dan tidak.
29. Jangan membuang sampah kedalam saluran air, terusan air, sungai dan laut.
30. Jangan gunakan bahan kimia terutama bahan detergen dan bahan pembersih yang mengandung phospat.
31. Pakailah bahan pengganti zat kimia dalam rumah misal jus lemon dicampur dengan garam,cuka dan amoniak.Jangan menggunakan air lebih dari yang anda perlukan.
32. Apabila mungkin, air di daur ulang.
33. Jangan menggunakan air untuk membersihkan halaman jika dapat dibersihkan dengan sapu.
34. Pastikanlah agar keran bekerja dengan baik dan pergunakan pancuran yang mengalir pelan.
35. Periksa pembilas toilet berada dalam keadaan baik untuk menghindarkan pembilasan yang tidak perlu.
36. Simpan air bekas dan mesin cuci pakaian untuk mencuci kendaraan anda.
37. Biasakan meminum air dengan tidak menyisakan air dalam gelas.
38. Jangan melakukan perjalanan, kecuali anda terpaksa melakukannya.
39. Jangan melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadi, kecuali jika anda memang terpaksa.
40. Pergunakan kendaraan umum untuk mengurangi kemacetan, karbon monoksida dan ongkos parkir.
41. Pergunakan sepeda, jika jarak yang ditempuh relatif dekat.
42. Pergunakan bahan bakar yang bebas timah (unleaded
fuel)
43. Pergunakan bahan bakar beroktan rendah.
44. Mengkonversi mesin kendaraan anda untuk memakai gas alam yang dipadatkan.
45. Merawat mesin dengan teratur.
46. Pilih kendaraan yang menggunakan bahan bakar paling efisien.
47. Jika hendak mencetak (nge-print) periksa setting print terlebih dahulu, pergunakan cetak draft untuk menghemat tinta.
48. Pergunakan dibalik kertas yang telah terpakai untuk kebutuhan intern.
49. Jangan pergunakan gambar-gambar yang yang tidak dibutuhkan dalam sebuah tulisan, karena gambar membutuhkan tinta yang lebih.
50. Pilih jenis dan ukuran huruf yang standart.
51. Jangan mempergunakan pupuk yang mengandung zat kimia atau penyalahgunaan pestisida.
52. Pergunakan bahan kimia untuk tanaman herbisida dan fungisida seefisien mungkin.
53. Mulailah menanam tanaman dengan teknik hidroponik (ditanam tanpa menggunakan tanah dan hanya memberi gizi secukupnya di dalam air.
54. Untuk pedagang keliling, jangan menghidupkan alat-alat yang menimbulkan suara bising, kecuali untuk memberikan demonstrasi kepada konsumen.
55. Menghindarkan musik pengiring ditempat-tempat publik.
56. Jangan mengoperasikan peralatan pada jam-jam puncak istirahat.
57. Hindari memperdengarkan musik bersuara keras, sehingga mengaburkan bunyi pengumuman yang penting.
58. Pastikan bahwa peralatan benar-benar kedap suara dan diservis untuk memperkecil suara bising.
59. Pakailah alat penutup telinga jika bekerja pada mesin yang bersuara bising.
60. Pastkan agar produk yag menimbulkan suara mengeluarkan suara sekecil mungkin atau diisolasi.
61. Gunakanlah alat-alat musik pada tingkat suara yang wajar dan tidak memekakkan telinga.
62. Jangan menempel poster,atribut organisasi atau hal-hal yang berbau promosi di dinding atau tembok di area publik.
63. Hindari pemasangan tanda penunjuk atau rambu lebih dari satu sehingga orang tidak dibingungan dengan rambu itu.
64. Pasanglah reklame atau baliho pada tingkat kewajaran.
65. Jangan bangun pabrik yang menimbulkan pencemaran di daerah pemukiman.
66. Pastikan adanya prasarana yang memadai untuk pembuangan seluruh limbah.
67. Meminimalisir tingkat asap beracun dan limbah cair yang rendah.
68. Cari informasi dari pemerintah mengenai standar pencemaran udara dan air yang dapat diterima.
69. Pergunakan bahan bakar yang paling sedikit menimbulkan pencemaran.
70. Pergunakan teknologi pembersih atau anti pencemaran yang ada untuk menjaga agar prosesing pabrik anda menjadi bersih.
71. Hindarkan pemakaian bahan-bahan beracun, kecuali jika hal tersebut sangat diperlukan sekali.
72. Jangan menanam limbah beracun tanpa nasehat ahli.
73. membuang limbah beracun di luar pabrik anda.
74. Jangan membakar limbah industri di tempat terbuka.
Jumat, 14 November 2008
Pestarian Lingkungan Di Mulai dari Sekolah
Pelestarian Lingkungan Dimulai dari Sekolah
Anak-anak perlu diikutsertakan dalam pelestarian lingkungan. Pengetahuan tentang kerusakan, pencemaran, konservasi, dan pelestarian lingkungan sangat efektif diberikan pada anak sejak awal dalam proses pembelajaran sekolah.
Demikian disampaikan Deputi Menteri Lingkungan Hidup (LH) Bidang Pengembangan Masyarakat Arie DD Djoekardi dalam sambutannya pada Acara Gerakan Penanaman Pohon di Desa Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang, Minggu (9/11).
"Pendidikan lingkungan sejak dini pada anak-anak juga akan memberikan kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap pelestarian lingkungan dan mereka akan mampu berinisiatif untuk mengatasi kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi di sekitarnya," kata Arie pada acara yang dilaksanakan oleh YBAI dan Kementerian LH ini.
Gerakan penanaman pohon merupakan respons terhadap kualitas lingkungan yang saat ini makin memburuk, seperti terjadinya banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Dikatakan, banjir bandang yang terjadi di Bukit Lawang, Bohorok, Langkat, Sumatera Utara, merupakan akibat penebangan pohon dan pembabatan hutan.
Penanaman pohon di Lengkong dilakukan siswa dari beberapa sekolah dan masyarakat di beberapa lokasi, yaitu bantaran Kali Angke, lokasi pembangunan SLTP Sadar Persatuan dan di sekitar Kampoeng Pendidikan wilayah Desa Lengkong Wetan.
Jenis pohon yang ditanam di antaranya duwet, buni, menteng, gandaria, kemang, lobi-lobi, mangga, jambu, durian, kelapa hibrida, dan sawo duren. Tahun ini, YBAI dan Kementerian LH menargetkan menanam minimal 1.000 pohon di atas lahan 20 hektar milik masyarakat. (k06)
Anak-anak perlu diikutsertakan dalam pelestarian lingkungan. Pengetahuan tentang kerusakan, pencemaran, konservasi, dan pelestarian lingkungan sangat efektif diberikan pada anak sejak awal dalam proses pembelajaran sekolah.
Demikian disampaikan Deputi Menteri Lingkungan Hidup (LH) Bidang Pengembangan Masyarakat Arie DD Djoekardi dalam sambutannya pada Acara Gerakan Penanaman Pohon di Desa Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang, Minggu (9/11).
"Pendidikan lingkungan sejak dini pada anak-anak juga akan memberikan kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap pelestarian lingkungan dan mereka akan mampu berinisiatif untuk mengatasi kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi di sekitarnya," kata Arie pada acara yang dilaksanakan oleh YBAI dan Kementerian LH ini.
Gerakan penanaman pohon merupakan respons terhadap kualitas lingkungan yang saat ini makin memburuk, seperti terjadinya banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Dikatakan, banjir bandang yang terjadi di Bukit Lawang, Bohorok, Langkat, Sumatera Utara, merupakan akibat penebangan pohon dan pembabatan hutan.
Penanaman pohon di Lengkong dilakukan siswa dari beberapa sekolah dan masyarakat di beberapa lokasi, yaitu bantaran Kali Angke, lokasi pembangunan SLTP Sadar Persatuan dan di sekitar Kampoeng Pendidikan wilayah Desa Lengkong Wetan.
Jenis pohon yang ditanam di antaranya duwet, buni, menteng, gandaria, kemang, lobi-lobi, mangga, jambu, durian, kelapa hibrida, dan sawo duren. Tahun ini, YBAI dan Kementerian LH menargetkan menanam minimal 1.000 pohon di atas lahan 20 hektar milik masyarakat. (k06)
Nilai Biologi, Ekonomi, dan Budaya dari Sumber Daya Alam
Nilai Biologi, Ekonomi Dan Budaya Dari Sumber Daya Alam
Biologi Kelas 1 > Pelestarian Sumber Daya Alam hayati
Alam yang serasi adalah alam yang mengandung berbagai komponen ekosistem secara seimbang. Komponen-komponen dalam ekosistem senantiasa saling bergantung.
Keseimbangan inilah yang harus tetap dijaga agar pelestarian keanekaragaman dalam sumber daya alam tetap terjamin. Keseimbangan akan terganggu jika komponen di dalamnya terganggu atau rusak.
Terjadinya banjir, gunung meletus, gempa bumi, wabah penyakit, dan sebagainya dapat menyebabkan adanya kerugian dalam bidang ekonomi, biologi, bahkan perusakan peninggalan-peninggalan budaya.
1. Sejarah Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA)Gerakan perlindungan alam dimulai di Perancis, tahun 1853 atas usul Para pelukis untuk melindungi pemandangan alam di Fontainbleau di Paris.
Sebagai peletak dasar atau gagasan perlindungan alam adalah FWH Alexander Von Humbolt (seorang ahli berkebangsaan Jerman, 1769-1859), sehingga beliau diakui sebagai Bapak Ekologi sedunia. Tokoh organisasi internasional di bidang ini adalah Paul Sarazin (Swiss). Oleh karena keadaan perang maka dasar-dasar organisasi ini baru terbentuk pada tahun 1946 di Basel, dan tahun 1947 di Brunnen.
Perlindungan dan Pengawetan Alam di Indonesia lahir pada tahun 1912 di Bogor, tokohnya Dr. SH. Kooders. Menurut Undang-undang Perlindungan Alam, pencagaralaman di Indonesia dibedakan menjadi 2, yaitu sebagai berikut :
1. Cagar alam. Penamaan ini berlaku di daerah yang keadaan alam (tanah, flora, dan keindahan) mempunyai nilai yang khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta bagi kepentingan umum sehingga dirasa perlu untuk dipertahankan dan tidak merusak keadaannya. Cagar alam dapat diartikan Pula sebagai sebidang lahan yang dijaga untuk melindungi flora dan fauna di dalamnya.
2. Suaka margasatwa. Istilah ini berlaku untuk daerah-daerah yang keadaan alamnya (tanah, fauna, dan keindahan) memiliki nilai khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi.
Kedua istilah di atas kemudian dipadukan menjadi Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA).
Cagar Biosfer
Cagar Biosfer adalah perlindungan alam yang meliputi daerah yang telah dibudidayakan manusia, misalnya untuk pertanian secara tradisional (bukan tataguna lahan modern, misalnya: pabrik, jalan raya, pertanian dengan mesin). Selain cagar alam dan cagar biosfer terdapat juga istilah cagar budaya yang memiliki arti perlindungan terhadap hasil kebudayaan manusia, misalnya perlindungan terhadap candi dan daerah sekitamya. Strategi pencagaralaman sedunia (World Conservation Strategy) memiliki tiga tujuan, yaitu:
1. memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan.
2. mempertahankan keanekaragaman genetis.
3. menjamin pemanfaatan jenis dan ekosistem secara berkelanjutan.
Ketiga tujuan ini paling berkaitan. Pencagaralaman tidak berlawanan dengan pemanfaatan jenis dan ekosistem. Akan tetapi, pemanfaatan itu haruslah dilakukan dengan cara yang menjamin adanya kesinambungan. Artinya, kepunahan jenis dan kerusakan ekosistem tidak boleh terjadi. Demikian pula, terjaganya ekosistem dari kerusakan tidak hanya melindungi keanekaragaman jenis, melainkan juga proses ekologi yang esensial.
Nilai-nilai dalam perlindungan alamNilai-nilai yang terkandung dalam perlindungan alam meliputi nilai ilmiah, nilai ekonomi, dan nilai budaya yang saling berkaitan.
Secara terperinci, nilai-nilai yang dimiliki dalam perlindungan dan pengawetan alam dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Nilai ilmiah,yaitu kekayaan alam, misalnya, hutan dapat digunakan sebagai tempat penelitian biologi untuk pengembangan ilmu (sains). Misalnya, botani, proteksi tanaman, dan penelitian ekologi.
2. Nilai ekonomi,yaitu perlindungan alam ditujukan untuk kepentingan ekonomi. Misalnya pengembangan daerah wisata. Hal ini akan mendatangkan berbagai lapangan kerja. Hutan dengan hasil hutannya, dan Taut dapat menjadi sumber devisa bagi negara.
3. Nilai budaya,yaitu flora dan fauna yang khas maupun hasil budaya manusia pada suatu daerah dapat menimbulkan kebanggaan tersendiri, misalnya Candi Borobudur, komodo, dan tanaman khas Indonesia (melati dan anggrek).
4. Nilai mental dan spiritual, misalnya dengan perlindungan alam, manusia dapat menghargai keindahan alam serta lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa sumber daya alam hayati terdiri dari hewan, tumbuhan, manusia, dan mikroba yang dapat kita manfaatkan untuk kesejahteraan hidup manusia. Pemanfaatan sumber daya tersebut antara lain di bidang sandang, pangan, papan, dan perdagangan. Oleh karena dimanfaatkan oleh berbagai tingkatan manusia dan berbagai kepentingan, maka diperlukan campur tangan berbagai pihak dalam melestarikan sumber daya alam hayati. Pihak-pihak yang memanfaatkan sumber daya alam balk negeri maupun swasta memiliki kewajiban yang sama dalam pelestarian sumber daya alam hayati. Misalnya, pabrik pertambangan batu bara, selain memanfaatkan batu tiara diharuskan pula untuk mengolah limbah industrinya agar tidak mencemari daerah sekitamya dan merusak ekosistem. Pabrik-pabrik, seperti pabrik obat-obatan, selain memanfaatkan bahan dasar dari hutan diwajibkan pula untuk melakukan penanaman kembali dan mengolah limbah industrinya (daur ulang) agar tidak merusak lingkungan.
2. Macam-macam Bentuk (Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam Hayati) Usaha pelestarian sumber daya alam hayati tidak lepas dari usaha pelestarian lingkungan hidup. Usaha-usaha dalam pelestrian lingkungan hidup bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, melainkan tanggung jawab kita semua.
Untuk menggalakkan perhatian kita kepada pelestarian lingkungan hidup, maka setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Sedunia. Di tingkat Internasional, peringatan Hari Lingkungan Hidup ditandai dengan pemberian penghargaan kepada perorangan atau pun kelompok atas sumbangan praktis mereka yang berharga bagi pelestarian lingkungan atau perbaikan lingkungan hidup di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Penghargaan ini diberi nama "Global 500" yang diprakarsai Program Lingkungan PBB (UNEP = United Nation Environment Program).
Di tingkat nasional, Indonesia tidak ketinggalan dengan memberikan hadiah, sebagai berikut.
a. Kalpataru
Hadiah Kalpataru diberikan kepada berikut ini.
1. Perintis lingkungan hidup, yaitu mereka yang telah mempelopori untuk mengubah lingkungan hidup yang kritis menjadi subur kembali.
2. Penyelamat lingkungan hidup, yaitu mereka yang telah menyelamatkan lingkungan hidup yang rusak.
3. Pengabdi lingkungan hidup, yaitu petugas-petugas yang telah mengabdikan dirinya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Kalpataru berupa pahatan Kalpataru tiga dimensi yang berlapis emas murni. Pahatan ini mencontoh pahatan yang terdapat pada Candi Mendut yang melukiskan pohon kehidupan serta mencerminkan sikap hidup manusia Indonesia terhadap lingkungannya, yaitu keselarasan dan keserasian dengan alam sekitarnya.
b. Adipura
Hadiah Adipura diberikan kepada berikut ini.
1. Kota-kota terbersih di Indonesia.
2. Daerah-daerah yang telah berhasil membuat Laporan Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah (NKLD).
Selain usaha-usaha tersebut di atas, usaha lain yang tidak kalah pentingnya adalah didirikannya bermacam-macam perlindungan alam seperti Taman Wisata, Taman hasional, Kebun Raya, Hutan Buru, Hutan Lindung, dan Taman Laut.
Macam-macam Perlindungan Alam (PPA)Perlindungan alam dibagi menjadi dua, yaitu perlindungan umum dan perlindungan dengan tujuan tertentu.
1. Perlindungan alam umumPerlindungan alam umum merupakan suatu kesatuan (flora, fauna, dan tanahnya). Perlindungan alam ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :
a. Perlindungan alam ketat;
merupakan perlindungan terhadap keadaan alam yang dibiarkan tanpacampur tangan manusia, kecuali dipandang perlu. Tujuannya untuk penelitian dan kepentingan ilmiah, misalnya Ujung Kulon.
b. Perlindungan alam terbimbing;
merupakan perlindungan keadaan alam yang dibina oleh Para ahli, misalnya Kebun Raya Bogor.
c. National Park atau Taman Nasional;
merupakan keadaan alam yang menempati suatu daerah yang lugs dan ticlak boleh ada rumah tinggalmaupun bangunan industri. Tempat ini dimanfaatkan untuk rekreasi atau taman wisata, tanpa mengubah ciri-ciri ekosistem.
Misalnya: Taman Safari di Cisarua Bogor dan Way Kambas.
Pada tahun 1982 diadakan Konggres Taman hasional sedunia di Bali (World National Park Conggres). Dalam konggres itu Pemerintah Indonesia mengumumkan 16 taman nasional (TN) yang ada di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
01. TN. Kerinci Seblat (Sumbar, Jambi. Bengkulu) ± 1.485.000 Ha
02. TN. Gunung Leuser (Sumut, Aceh) ± 793.000 Ha
03. TN. Barisan Selatan (Lampung, Beng kulu) ± 365.000 Ha
04. TN. Tanjung Puting (Kalteng) ± 355.000 Ha
05. TN. Drumoga Bone (Sulut) ± 300.000 Ha
06. TN. Lore Lindu (Sulteng) t 231.000 Ha
07. TN. Kutai (Kaltim) ± 200.000 Ha
08. TN. Manusela Wainua (Maluku) ± 189.000 Ha
09. TN. Kepulauan Seribu (DKI) ± 108.000 Ha
10. TN. Ujung Kulon (Jabar) ± 79.000 Ha
11. TN. Besakih (Bali) ± 78.000 Ha
12. TN. Komodo (HTB) ± 75.000 Ha
13. TN. Bromo Tengger, Semeru (Jatim) ± 58.000 Ha
14. TN. Meru Betiri (Jatim) ± 50.000 Ha
15. TN. Baluran (Jatim) ± 25.000 Ha
16. TN. Gede Pangrango (Jabar) ± 15.000 Ha
b. Perlindungan alam dengan tuljuan tertentu
Macam perlindungan alam dengan tujuan tertentu adalah sebagai berikut :
a. Perlindungan geologi; merupakan perlindungan alam yang bertujuan melindungi formasi geologi tertentu, misalnya batuan tertentu.
b. Perlindungan alam botani;merupakan perlindungan alam yang bertujuan melindungi komunitas tumbuhan tertentu, misalnya Kebun Raya Bogor.
c. Perlindungan alam zoologi; merupakan perlindungan alam yang bertujuan melindungi hewan-hewan langka serta mengembangkannya dengan cara memasukkan hewan sejenis ke daerah lain, misalnya gajah.
d. Perlindungan alam antropologi; merupakan perlindungan alam yang bertujuan melindungi suku bangsa yang terisolir,misalnya Suku Indian di Amerika, Suku Asmat di Irian Jaya, dan Suku Badui di Banten Selatan.
e. Perlindungan pemandangan alam; merupakan perlindungan yang bertujuan melindungi keindahan alam, misalnya Lembah Sianok di Sumatera Barat.
f. Perlindungan monumen alam;merupakan perlindungan yang bertujuan melindungi benda-benda alamtertentu, misalnya stalagtit, stalagmit, gua, dan air terjun.
g. Perlindungan suaka margasatwa;merupakan perlindungan dengan tujuan melindungi hewan-hewan yang terancam punch, misalnya badak, gajah, dan harimau Jawa.
h. Perlindungan hutan; merupakan perlindungan yang bertujuan melindungi tanah, air, dan perubahan iklim.
i. Perlindungan ikan;merupakan perlindungan yang bertujuan melindungi ikan yang terancam punah.
Bentuk-bentuk PPA di atas harus diusahakan secara terpadu karena fauna akan lestari apabila flora dan habitatnya lestari juga.
Biologi Kelas 1 > Pelestarian Sumber Daya Alam hayati
Alam yang serasi adalah alam yang mengandung berbagai komponen ekosistem secara seimbang. Komponen-komponen dalam ekosistem senantiasa saling bergantung.
Keseimbangan inilah yang harus tetap dijaga agar pelestarian keanekaragaman dalam sumber daya alam tetap terjamin. Keseimbangan akan terganggu jika komponen di dalamnya terganggu atau rusak.
Terjadinya banjir, gunung meletus, gempa bumi, wabah penyakit, dan sebagainya dapat menyebabkan adanya kerugian dalam bidang ekonomi, biologi, bahkan perusakan peninggalan-peninggalan budaya.
1. Sejarah Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA)Gerakan perlindungan alam dimulai di Perancis, tahun 1853 atas usul Para pelukis untuk melindungi pemandangan alam di Fontainbleau di Paris.
Sebagai peletak dasar atau gagasan perlindungan alam adalah FWH Alexander Von Humbolt (seorang ahli berkebangsaan Jerman, 1769-1859), sehingga beliau diakui sebagai Bapak Ekologi sedunia. Tokoh organisasi internasional di bidang ini adalah Paul Sarazin (Swiss). Oleh karena keadaan perang maka dasar-dasar organisasi ini baru terbentuk pada tahun 1946 di Basel, dan tahun 1947 di Brunnen.
Perlindungan dan Pengawetan Alam di Indonesia lahir pada tahun 1912 di Bogor, tokohnya Dr. SH. Kooders. Menurut Undang-undang Perlindungan Alam, pencagaralaman di Indonesia dibedakan menjadi 2, yaitu sebagai berikut :
1. Cagar alam. Penamaan ini berlaku di daerah yang keadaan alam (tanah, flora, dan keindahan) mempunyai nilai yang khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta bagi kepentingan umum sehingga dirasa perlu untuk dipertahankan dan tidak merusak keadaannya. Cagar alam dapat diartikan Pula sebagai sebidang lahan yang dijaga untuk melindungi flora dan fauna di dalamnya.
2. Suaka margasatwa. Istilah ini berlaku untuk daerah-daerah yang keadaan alamnya (tanah, fauna, dan keindahan) memiliki nilai khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi.
Kedua istilah di atas kemudian dipadukan menjadi Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA).
Cagar Biosfer
Cagar Biosfer adalah perlindungan alam yang meliputi daerah yang telah dibudidayakan manusia, misalnya untuk pertanian secara tradisional (bukan tataguna lahan modern, misalnya: pabrik, jalan raya, pertanian dengan mesin). Selain cagar alam dan cagar biosfer terdapat juga istilah cagar budaya yang memiliki arti perlindungan terhadap hasil kebudayaan manusia, misalnya perlindungan terhadap candi dan daerah sekitamya. Strategi pencagaralaman sedunia (World Conservation Strategy) memiliki tiga tujuan, yaitu:
1. memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan.
2. mempertahankan keanekaragaman genetis.
3. menjamin pemanfaatan jenis dan ekosistem secara berkelanjutan.
Ketiga tujuan ini paling berkaitan. Pencagaralaman tidak berlawanan dengan pemanfaatan jenis dan ekosistem. Akan tetapi, pemanfaatan itu haruslah dilakukan dengan cara yang menjamin adanya kesinambungan. Artinya, kepunahan jenis dan kerusakan ekosistem tidak boleh terjadi. Demikian pula, terjaganya ekosistem dari kerusakan tidak hanya melindungi keanekaragaman jenis, melainkan juga proses ekologi yang esensial.
Nilai-nilai dalam perlindungan alamNilai-nilai yang terkandung dalam perlindungan alam meliputi nilai ilmiah, nilai ekonomi, dan nilai budaya yang saling berkaitan.
Secara terperinci, nilai-nilai yang dimiliki dalam perlindungan dan pengawetan alam dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Nilai ilmiah,yaitu kekayaan alam, misalnya, hutan dapat digunakan sebagai tempat penelitian biologi untuk pengembangan ilmu (sains). Misalnya, botani, proteksi tanaman, dan penelitian ekologi.
2. Nilai ekonomi,yaitu perlindungan alam ditujukan untuk kepentingan ekonomi. Misalnya pengembangan daerah wisata. Hal ini akan mendatangkan berbagai lapangan kerja. Hutan dengan hasil hutannya, dan Taut dapat menjadi sumber devisa bagi negara.
3. Nilai budaya,yaitu flora dan fauna yang khas maupun hasil budaya manusia pada suatu daerah dapat menimbulkan kebanggaan tersendiri, misalnya Candi Borobudur, komodo, dan tanaman khas Indonesia (melati dan anggrek).
4. Nilai mental dan spiritual, misalnya dengan perlindungan alam, manusia dapat menghargai keindahan alam serta lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa sumber daya alam hayati terdiri dari hewan, tumbuhan, manusia, dan mikroba yang dapat kita manfaatkan untuk kesejahteraan hidup manusia. Pemanfaatan sumber daya tersebut antara lain di bidang sandang, pangan, papan, dan perdagangan. Oleh karena dimanfaatkan oleh berbagai tingkatan manusia dan berbagai kepentingan, maka diperlukan campur tangan berbagai pihak dalam melestarikan sumber daya alam hayati. Pihak-pihak yang memanfaatkan sumber daya alam balk negeri maupun swasta memiliki kewajiban yang sama dalam pelestarian sumber daya alam hayati. Misalnya, pabrik pertambangan batu bara, selain memanfaatkan batu tiara diharuskan pula untuk mengolah limbah industrinya agar tidak mencemari daerah sekitamya dan merusak ekosistem. Pabrik-pabrik, seperti pabrik obat-obatan, selain memanfaatkan bahan dasar dari hutan diwajibkan pula untuk melakukan penanaman kembali dan mengolah limbah industrinya (daur ulang) agar tidak merusak lingkungan.
2. Macam-macam Bentuk (Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam Hayati) Usaha pelestarian sumber daya alam hayati tidak lepas dari usaha pelestarian lingkungan hidup. Usaha-usaha dalam pelestrian lingkungan hidup bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, melainkan tanggung jawab kita semua.
Untuk menggalakkan perhatian kita kepada pelestarian lingkungan hidup, maka setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Sedunia. Di tingkat Internasional, peringatan Hari Lingkungan Hidup ditandai dengan pemberian penghargaan kepada perorangan atau pun kelompok atas sumbangan praktis mereka yang berharga bagi pelestarian lingkungan atau perbaikan lingkungan hidup di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Penghargaan ini diberi nama "Global 500" yang diprakarsai Program Lingkungan PBB (UNEP = United Nation Environment Program).
Di tingkat nasional, Indonesia tidak ketinggalan dengan memberikan hadiah, sebagai berikut.
a. Kalpataru
Hadiah Kalpataru diberikan kepada berikut ini.
1. Perintis lingkungan hidup, yaitu mereka yang telah mempelopori untuk mengubah lingkungan hidup yang kritis menjadi subur kembali.
2. Penyelamat lingkungan hidup, yaitu mereka yang telah menyelamatkan lingkungan hidup yang rusak.
3. Pengabdi lingkungan hidup, yaitu petugas-petugas yang telah mengabdikan dirinya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Kalpataru berupa pahatan Kalpataru tiga dimensi yang berlapis emas murni. Pahatan ini mencontoh pahatan yang terdapat pada Candi Mendut yang melukiskan pohon kehidupan serta mencerminkan sikap hidup manusia Indonesia terhadap lingkungannya, yaitu keselarasan dan keserasian dengan alam sekitarnya.
b. Adipura
Hadiah Adipura diberikan kepada berikut ini.
1. Kota-kota terbersih di Indonesia.
2. Daerah-daerah yang telah berhasil membuat Laporan Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah (NKLD).
Selain usaha-usaha tersebut di atas, usaha lain yang tidak kalah pentingnya adalah didirikannya bermacam-macam perlindungan alam seperti Taman Wisata, Taman hasional, Kebun Raya, Hutan Buru, Hutan Lindung, dan Taman Laut.
Macam-macam Perlindungan Alam (PPA)Perlindungan alam dibagi menjadi dua, yaitu perlindungan umum dan perlindungan dengan tujuan tertentu.
1. Perlindungan alam umumPerlindungan alam umum merupakan suatu kesatuan (flora, fauna, dan tanahnya). Perlindungan alam ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :
a. Perlindungan alam ketat;
merupakan perlindungan terhadap keadaan alam yang dibiarkan tanpacampur tangan manusia, kecuali dipandang perlu. Tujuannya untuk penelitian dan kepentingan ilmiah, misalnya Ujung Kulon.
b. Perlindungan alam terbimbing;
merupakan perlindungan keadaan alam yang dibina oleh Para ahli, misalnya Kebun Raya Bogor.
c. National Park atau Taman Nasional;
merupakan keadaan alam yang menempati suatu daerah yang lugs dan ticlak boleh ada rumah tinggalmaupun bangunan industri. Tempat ini dimanfaatkan untuk rekreasi atau taman wisata, tanpa mengubah ciri-ciri ekosistem.
Misalnya: Taman Safari di Cisarua Bogor dan Way Kambas.
Pada tahun 1982 diadakan Konggres Taman hasional sedunia di Bali (World National Park Conggres). Dalam konggres itu Pemerintah Indonesia mengumumkan 16 taman nasional (TN) yang ada di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
01. TN. Kerinci Seblat (Sumbar, Jambi. Bengkulu) ± 1.485.000 Ha
02. TN. Gunung Leuser (Sumut, Aceh) ± 793.000 Ha
03. TN. Barisan Selatan (Lampung, Beng kulu) ± 365.000 Ha
04. TN. Tanjung Puting (Kalteng) ± 355.000 Ha
05. TN. Drumoga Bone (Sulut) ± 300.000 Ha
06. TN. Lore Lindu (Sulteng) t 231.000 Ha
07. TN. Kutai (Kaltim) ± 200.000 Ha
08. TN. Manusela Wainua (Maluku) ± 189.000 Ha
09. TN. Kepulauan Seribu (DKI) ± 108.000 Ha
10. TN. Ujung Kulon (Jabar) ± 79.000 Ha
11. TN. Besakih (Bali) ± 78.000 Ha
12. TN. Komodo (HTB) ± 75.000 Ha
13. TN. Bromo Tengger, Semeru (Jatim) ± 58.000 Ha
14. TN. Meru Betiri (Jatim) ± 50.000 Ha
15. TN. Baluran (Jatim) ± 25.000 Ha
16. TN. Gede Pangrango (Jabar) ± 15.000 Ha
b. Perlindungan alam dengan tuljuan tertentu
Macam perlindungan alam dengan tujuan tertentu adalah sebagai berikut :
a. Perlindungan geologi; merupakan perlindungan alam yang bertujuan melindungi formasi geologi tertentu, misalnya batuan tertentu.
b. Perlindungan alam botani;merupakan perlindungan alam yang bertujuan melindungi komunitas tumbuhan tertentu, misalnya Kebun Raya Bogor.
c. Perlindungan alam zoologi; merupakan perlindungan alam yang bertujuan melindungi hewan-hewan langka serta mengembangkannya dengan cara memasukkan hewan sejenis ke daerah lain, misalnya gajah.
d. Perlindungan alam antropologi; merupakan perlindungan alam yang bertujuan melindungi suku bangsa yang terisolir,misalnya Suku Indian di Amerika, Suku Asmat di Irian Jaya, dan Suku Badui di Banten Selatan.
e. Perlindungan pemandangan alam; merupakan perlindungan yang bertujuan melindungi keindahan alam, misalnya Lembah Sianok di Sumatera Barat.
f. Perlindungan monumen alam;merupakan perlindungan yang bertujuan melindungi benda-benda alamtertentu, misalnya stalagtit, stalagmit, gua, dan air terjun.
g. Perlindungan suaka margasatwa;merupakan perlindungan dengan tujuan melindungi hewan-hewan yang terancam punch, misalnya badak, gajah, dan harimau Jawa.
h. Perlindungan hutan; merupakan perlindungan yang bertujuan melindungi tanah, air, dan perubahan iklim.
i. Perlindungan ikan;merupakan perlindungan yang bertujuan melindungi ikan yang terancam punah.
Bentuk-bentuk PPA di atas harus diusahakan secara terpadu karena fauna akan lestari apabila flora dan habitatnya lestari juga.
Pembangunan 'VS' Pelestarian Lingkungan
PEMBANGUNAN VS PELESTARIAN LINGKUNGAN
Oleh :
Wewen Efendi
Mahasiswa Jurusan Sosiologi UNAND
Anggota Kelompok Ilmiah Pemerhati Alam dan Lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Andalas (KIPAL FISUA)
Selain makhluk sosial, manusia dikategorikan pula sebagai homi faber atau makhluk pekerja. Manusia, dari masa ke masa dan di manapun berada akan berusaha meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Usaha manusia dalam meningkatkan kesejahteraan kehidupan dalam skala yang lebih luas dikonsepsikan dengan istilah pembangunan (development).
Dalam perkembangannya, manusia akan menggunakan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, baik sumber daya alam yang dapat diperbarui maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan hidup dan peningkatan jumlah manusia, maka sumber daya alam pun semakin banyak dibutuhkan. Dengan begitu manusia pun semakin melakukan peningkatan dalam usaha produksi terhadap kebutuhan barang. Tak jarang usaha peningkatan produksi dilakukan dengan cara eksploitasi terhadap sumber daya alam. Hal ini semakin terlihat jelas setelah revolusi industri di Prancis yang menghasilkan mesin-mesin yang menggantikan tenaga manusia yang membuat eksploitasi terhadap alam semakin mudah dilakukan.
Melihat fenomena ini timbul kecemasan dari Kelompok Roma (The Club of Rome) yang pesimis akan kelangsungan hidup manusia. Menurut mereka pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia akan sumber daya alam tidak seimbang dengan ketersediaan sumber daya alam.
Lebih lanjut, Weber dalam bukunya Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menjelaskan akan timbul kelas baru dalam masyarakat, yaitu munculnya masyarakat kapitalis yang selalu berusaha memperkaya diri sekalipun dengan cara eksploitasi alam untuk menekan kelas di bawahnya, proletar.
Kerusakan alam dan pencemaran lingkungan merupakan masalah serius yang dihadapi umat manusia di dunia dewasa ini. Bahkan hal ini merupakan salah satu program yang harus segera diselesaikan hingga tahun 2015 dalam Millenium Development Goals (MDGs).
Sesungguhnya pada awal 1960 an masalah ini mulai mendapat perhatian. Kerusakan alam yang terjadi akibat tidak dipedulikannya faktor lingkungan dalam pembangunan di berbagai bidang. Negara- negara telah mendorong PBB untuk mengadakan konferensi Stockholm pada 1972 tentang Human and Environment, tetapi kesepakatan-kesepakatan yang dicapai tidak dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk mengendalikan nafsu kapitalis yang merusak lingkungan.
Vanden Shiva dalam bukunya Bebas dari Pembangunan, menyebutkan secara ekologis, developmentalisme mempunyai implikasi terhadap lingkungan. Lebih lanjut ia menyebut, revolusi hijau tidaklah sekedar program pertanian, melainkan sistim perubahan melawan paradigma tradisional yang jelas-jelas tidak mempunyai dampak terhadap kerusakan lingkungan, sekalipun ada, presentasenya sangat kecil.
Pernyataan penting World Comision on Environment and Development (WCED) pada 1987 adalah bahwa penyebab kerusakan lingkungan di bernbagai negara adalah tata ekonomi dunia yang didominasi oleh negara maju. Fakta inilah yang kemudian melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan. Dalam perspektif yang lebih kritis bisa disebutkan bahwa prinsip ini merupakan jawaban atas rusaknya lingkungan sebagai akibat dari gagalnya teori modernisasi dari negara dunia ketiga.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam konsep pembangunan berkelanjutan dikemukakan secara lebih rinci dalam deklarasi dan perjanjian internasional melalui konferensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan United Nations of Conference Environment and Development di Rio de Jeneiro pada tahun 1992. dari berbagai dokumen yang dihasilkan pada konferensi itu, secara formal terdapat 5 (lima) prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan, yaitu: 1. prinsip keadilan antar generasi, 2. prinsip keadilan dalam satu generasi, 3. prinsip pencegahan dini, 4. prinsip perlindungan keanekaragaman hayati, 5. prinsip internalisasi biaya lingkungan.
Pada awalnya, terdapat kesepakatan antara negara maju dan negara dunia ketiga tentang konsep pembangunan berkelanjutan ini. Namun, kemudian konsep ini dianggap sebagai bentuk pemerasdan oleh negara maju terhadap dunia ketiga.
Masih dalam bukunya Bebas Dari Pembangunan, Vanden Shiva menyatakan kematian alam adalah bagian utama dari ancaman atas kelangsungan hidup. Bumi kita sudah mendekati ajalnya. Hutan, air, tanah, dan udara menuju kematian. Hutan-hutan tropik yang berfungsi sebagai pencipta iklim dunia, tempat asal mula kekayaan vegetasi di dunia telah dirusak, ditebang, dibakar dan ditenggelamkan.
Pada tahun 1950 hampir 100 juta hektar ditebang. Menjelang tahun 1975 angka ini bahkan naik menjadi dua kali lipatnya. Di Indonesia, dari informasi berita disebutkan hutan yang ditebang sebanyak 300 kali lapangan bola per satu jamnya.
Efek samping dari proses pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, kebersihan, dan terutama pada kesehatan masyarakat. Sedangkan dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kelangsungan pembangunan itu sendiri Soetomo (1995:160).
Di Indonesia sendiri, berdirinya pemerintahan Orde Baru tahun 1965 diikuti pada tahun 1967 dan 1968 dengan diterima nya UU Penanaman Modal Asing dan Domestik yang pada akhirnya mengantarkan pada penggunaan hutan-hutan di luar Jawa dalam proporsi besar sebagai konsumsi kayu swasta.
Seperti kita ketahui, hutan mempunya fungsi yang vital dalam menjamin kelangsungan hidup, misalnya hutan dapat menyimpan atau menampung air hujan untuk konsumsi air bersih dan dapat mencegah bencana seperti banjir, longsir, dan lain sebagainya.
Masalah pembangunan dan pelestarian lingkungan sebenarnya merupakan masalah yang dilematis. Seolah-olah terdapat semacam konflik antar tujuan pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi dengan tujuan konsevasi. Beberapa ahli telah berupaya mencarikan jalan keluarnya untuk permasalahan tersebut.
Pembangunan berwawasan lingkungan adalah salah satu konsep dalam menyelesaikan permasalahan ini. Permasalahan pokoknya adalah bagaimana mengolah sumber daya alam yang ada dengan bijaksana agar tertopang proses bembangunan yang berkesinambungan.. di Indonesia, penyebarannya antara lain melalui kebijaksanaan pembangunan lingkungan tertuju pada empat sasaran (Emil Salim,1986:37) yaitu, membina hubungan keselarasan antar manusia dengan lingkungan, melestarikan sumber daya alam agar bisa dimanfaatkan oleh generasi mendatang, meningkatkan mutu lingkungan, dan membimbing manusia menjadi pembina lingkungan.
Selain itu, konsep pembangunan baerbasis masyarakat local juga merupakan salah satu cara yang ampuh, seperti pembuatan hutan adapt Wahea di Kutai Timur. Masyarakat dilibatkan dalam proses pengawasan sehingga illegal loging dapat diminimalisir.
Sebagai salah satu penghuni planet bumi ini, kita berkewajiban menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Menguti pesan KH. Abdulah Gymnasiar yaitu dimulai dari diri sendiri, dimulai dari hal yang terkecil, dan dimulai saat ini juga.
Penulis : Wewen Efendi
Pekerjaan : Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Alamat : Jl. Olo Ladang No. 23 Padang. Telp : 0751 810009 HP: 081363125096
Oleh :
Wewen Efendi
Mahasiswa Jurusan Sosiologi UNAND
Anggota Kelompok Ilmiah Pemerhati Alam dan Lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Andalas (KIPAL FISUA)
Selain makhluk sosial, manusia dikategorikan pula sebagai homi faber atau makhluk pekerja. Manusia, dari masa ke masa dan di manapun berada akan berusaha meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Usaha manusia dalam meningkatkan kesejahteraan kehidupan dalam skala yang lebih luas dikonsepsikan dengan istilah pembangunan (development).
Dalam perkembangannya, manusia akan menggunakan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, baik sumber daya alam yang dapat diperbarui maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan hidup dan peningkatan jumlah manusia, maka sumber daya alam pun semakin banyak dibutuhkan. Dengan begitu manusia pun semakin melakukan peningkatan dalam usaha produksi terhadap kebutuhan barang. Tak jarang usaha peningkatan produksi dilakukan dengan cara eksploitasi terhadap sumber daya alam. Hal ini semakin terlihat jelas setelah revolusi industri di Prancis yang menghasilkan mesin-mesin yang menggantikan tenaga manusia yang membuat eksploitasi terhadap alam semakin mudah dilakukan.
Melihat fenomena ini timbul kecemasan dari Kelompok Roma (The Club of Rome) yang pesimis akan kelangsungan hidup manusia. Menurut mereka pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia akan sumber daya alam tidak seimbang dengan ketersediaan sumber daya alam.
Lebih lanjut, Weber dalam bukunya Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menjelaskan akan timbul kelas baru dalam masyarakat, yaitu munculnya masyarakat kapitalis yang selalu berusaha memperkaya diri sekalipun dengan cara eksploitasi alam untuk menekan kelas di bawahnya, proletar.
Kerusakan alam dan pencemaran lingkungan merupakan masalah serius yang dihadapi umat manusia di dunia dewasa ini. Bahkan hal ini merupakan salah satu program yang harus segera diselesaikan hingga tahun 2015 dalam Millenium Development Goals (MDGs).
Sesungguhnya pada awal 1960 an masalah ini mulai mendapat perhatian. Kerusakan alam yang terjadi akibat tidak dipedulikannya faktor lingkungan dalam pembangunan di berbagai bidang. Negara- negara telah mendorong PBB untuk mengadakan konferensi Stockholm pada 1972 tentang Human and Environment, tetapi kesepakatan-kesepakatan yang dicapai tidak dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk mengendalikan nafsu kapitalis yang merusak lingkungan.
Vanden Shiva dalam bukunya Bebas dari Pembangunan, menyebutkan secara ekologis, developmentalisme mempunyai implikasi terhadap lingkungan. Lebih lanjut ia menyebut, revolusi hijau tidaklah sekedar program pertanian, melainkan sistim perubahan melawan paradigma tradisional yang jelas-jelas tidak mempunyai dampak terhadap kerusakan lingkungan, sekalipun ada, presentasenya sangat kecil.
Pernyataan penting World Comision on Environment and Development (WCED) pada 1987 adalah bahwa penyebab kerusakan lingkungan di bernbagai negara adalah tata ekonomi dunia yang didominasi oleh negara maju. Fakta inilah yang kemudian melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan. Dalam perspektif yang lebih kritis bisa disebutkan bahwa prinsip ini merupakan jawaban atas rusaknya lingkungan sebagai akibat dari gagalnya teori modernisasi dari negara dunia ketiga.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam konsep pembangunan berkelanjutan dikemukakan secara lebih rinci dalam deklarasi dan perjanjian internasional melalui konferensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan United Nations of Conference Environment and Development di Rio de Jeneiro pada tahun 1992. dari berbagai dokumen yang dihasilkan pada konferensi itu, secara formal terdapat 5 (lima) prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan, yaitu: 1. prinsip keadilan antar generasi, 2. prinsip keadilan dalam satu generasi, 3. prinsip pencegahan dini, 4. prinsip perlindungan keanekaragaman hayati, 5. prinsip internalisasi biaya lingkungan.
Pada awalnya, terdapat kesepakatan antara negara maju dan negara dunia ketiga tentang konsep pembangunan berkelanjutan ini. Namun, kemudian konsep ini dianggap sebagai bentuk pemerasdan oleh negara maju terhadap dunia ketiga.
Masih dalam bukunya Bebas Dari Pembangunan, Vanden Shiva menyatakan kematian alam adalah bagian utama dari ancaman atas kelangsungan hidup. Bumi kita sudah mendekati ajalnya. Hutan, air, tanah, dan udara menuju kematian. Hutan-hutan tropik yang berfungsi sebagai pencipta iklim dunia, tempat asal mula kekayaan vegetasi di dunia telah dirusak, ditebang, dibakar dan ditenggelamkan.
Pada tahun 1950 hampir 100 juta hektar ditebang. Menjelang tahun 1975 angka ini bahkan naik menjadi dua kali lipatnya. Di Indonesia, dari informasi berita disebutkan hutan yang ditebang sebanyak 300 kali lapangan bola per satu jamnya.
Efek samping dari proses pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, kebersihan, dan terutama pada kesehatan masyarakat. Sedangkan dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kelangsungan pembangunan itu sendiri Soetomo (1995:160).
Di Indonesia sendiri, berdirinya pemerintahan Orde Baru tahun 1965 diikuti pada tahun 1967 dan 1968 dengan diterima nya UU Penanaman Modal Asing dan Domestik yang pada akhirnya mengantarkan pada penggunaan hutan-hutan di luar Jawa dalam proporsi besar sebagai konsumsi kayu swasta.
Seperti kita ketahui, hutan mempunya fungsi yang vital dalam menjamin kelangsungan hidup, misalnya hutan dapat menyimpan atau menampung air hujan untuk konsumsi air bersih dan dapat mencegah bencana seperti banjir, longsir, dan lain sebagainya.
Masalah pembangunan dan pelestarian lingkungan sebenarnya merupakan masalah yang dilematis. Seolah-olah terdapat semacam konflik antar tujuan pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi dengan tujuan konsevasi. Beberapa ahli telah berupaya mencarikan jalan keluarnya untuk permasalahan tersebut.
Pembangunan berwawasan lingkungan adalah salah satu konsep dalam menyelesaikan permasalahan ini. Permasalahan pokoknya adalah bagaimana mengolah sumber daya alam yang ada dengan bijaksana agar tertopang proses bembangunan yang berkesinambungan.. di Indonesia, penyebarannya antara lain melalui kebijaksanaan pembangunan lingkungan tertuju pada empat sasaran (Emil Salim,1986:37) yaitu, membina hubungan keselarasan antar manusia dengan lingkungan, melestarikan sumber daya alam agar bisa dimanfaatkan oleh generasi mendatang, meningkatkan mutu lingkungan, dan membimbing manusia menjadi pembina lingkungan.
Selain itu, konsep pembangunan baerbasis masyarakat local juga merupakan salah satu cara yang ampuh, seperti pembuatan hutan adapt Wahea di Kutai Timur. Masyarakat dilibatkan dalam proses pengawasan sehingga illegal loging dapat diminimalisir.
Sebagai salah satu penghuni planet bumi ini, kita berkewajiban menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Menguti pesan KH. Abdulah Gymnasiar yaitu dimulai dari diri sendiri, dimulai dari hal yang terkecil, dan dimulai saat ini juga.
Penulis : Wewen Efendi
Pekerjaan : Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Alamat : Jl. Olo Ladang No. 23 Padang. Telp : 0751 810009 HP: 081363125096
Pelestarian Lingkungan di Jepang
Indonesia Tak Serius Ingin Kelola Sampah
Pengantar Redaksi:Wartawan Sinar Harapan, Natalia Santi, dipilih oleh Departemen Luar Negeri Jepang mewakili Indonesia untuk mengikuti kunjungan jurnalistik ke tiga kota di Jepang, yakni Fukuoka, Kitakyushu dan Kobe, 11-19 Oktober lalu.
Tema kunjungan kali ini adalah Tackling Global Issues: Environmental Protection and Disaster Prevention Japan’s Experience, Knowledge, Technology and International Contribution.
Berikut laporannya yang ditulis dalam dua bagian hingga besok.
TOKYO – Begitu menginjakkan kaki di Tokyo, langsung terasa perbedaannya dengan Jakarta: kota ini sangat bersih dan rapih. Tak dapat disangkal Jepang adalah salah satu negara yang sukses menangani persoalan lingkungan. Kesadaran warga untuk menjaga lingkungan sangat tinggi. Kemacetan dan kebisingan jalan seperti di Jakarta tidak akan ditemukan di kota ini. Tak ada asap kendaraan yang menyesakkan dada. Sampah seperti kertas atau botol-botol plastik pun tak ditemukan. Kalau bisa dikategorikan sampah, hanyalah satu-dua daun yang berguguran.Menurut penerjemah kami selama kunjungan di Jepang, Miyako Yoshida, sebagian warga enggan membeli mobil meski mampu. Kebanyakan mereka yang tinggal di pinggiran Tokyo memilih kereta api komuter untuk sarana transportasi. Selain Tokyo memiliki masalah parkir kendaraan, (kami sempat mengalaminya, harus berjalan jauh menuju bus setelah naik kereta api Shinkasen dari Kobe), semua tempat terjangkau dengan kereta api.Warga juga memilih menggunakan sepeda menuju stasiun. Karena itu tidak heran banyak sepeda yang diparkir dekat stasiun-stasiun kereta. Polisi (Koban) juga menggunakan sepeda untuk berpatroli. Kebersihan lingkungan tidak hanya tampak di kota besar, melainkan juga daerah-daerah lain yang kami kunjungi seperti Fukuoka, Kitakyushu dan Kobe. Keindahan dan kebersihan tidak hanya terlihat di jalan-jalan tapi juga di sungai dan laut. Di sepanjang pantai yang kami lalui saat menuju tempat-tempat tujuan, tidak terlihat sampah-sampah plastik dan kertas yang berserakan. Pelabuhan Kobe pun tampak bersih, airnya jernih tanpa sampah yang terapung ataupun genangan minyak.Pembuangan SampahKami mengunjungi sistem pembuangan sampah di Fukuoka yang menggunakan metode semi-aerobik. Sistem ini dikembangkan 30 tahun lalu oleh pemerintah kota bersama Universitas Fukuoka. Sistem ini telah populer di beberapa negara. Malaysia, misalnya, telah menerapkan sistem ini di beberapa kotanya. Metode pembuangan sampah metode ini tidak memerlukan teknologi tinggi, ramah lingkungan dan biaya konstruksinya tidak terlampau mahal. Di Malaysia, bambu-bambu digunakan sebagai pengganti pipa untuk mengalirkan air lindi. Secara sederhana, sistem pembuangan sampah semi-aerobik metode Fukuoka dapat digambarkan sebagai penimbunan sampah secara berlapis. Di tiap lapisannya diberi pipa untuk mengalirkan air lindi dan pipa lain untuk menyalurkan gas metan. Pipa pengumpul terdiri atas batu-batuan dan pipa perforasi yang dipasang di bawah lahan urugan (landfill) untuk membuang air lindi secepatnya dari sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lindi keluar ke permukaan. Air lindi tersebut dikumpulkan dalam bak penampungan dan kemudian dimurnikan sebelum dibuang ke sungai atau dimanfaatkan kembali.Dengan menggunakan metode semi-aerobik, panas yang dihasilkan dekomposisi mikrobiologi sampah yang menaikkan suhu lahan urug dialirkan melalui pipa pengumpul dengan ventilasi alami. Hal ini mempercepat dekomposisi sampah.Ditanya apakah teknologi pembuangan sampah metode Fukuoka dapat dikembangkan di Indonesia, Dr. Yasushi Matsufuji dari Universitas Fukuoka mengatakan, sebenarnya dari Indonesia telah banyak yang belajar teknologi tersebut sejak 10 tahun lalu. “Setiap tahun, ada dua hingga tiga orang dari Indonesia belajar di sini,” kata Dr. Matsufuji. Kenyataan ini cukup mengejutkan, karena sesungguhnya dengan banyaknya orang Indonesia yang telah belajar, maka kalau mau Indonesia juga bisa mengelola sampahnya dengan baik.Bandingkan dengan Filipina, yang juga pernah mengirimkan hanya seorang stafnya untuk mempelajari teknologi ini, dan ternyata langsung berhasil mengembangkan di negaranya. Seperti diketahui, tahun 2000, Filipina pernah mengalami musibah longsornya timbunan sampah yang menewaskan 37 warga di Quezon City. Di Indonesia sudah ada dua kejadian seperti itu yakni di TPA Leuwi Gajah, Bandung, dan TPA Bantar Gebang, Bekasi, namun tetap saja tidak ada kemajuan dalam pengelolaan sampah.Kami juga mengunjungi bekas tempat pembuangan sampah yang telah dikelola menjadi lahan pertanian. Di atas tanah tersebut kini terhampar rumput hijau yang diselingi bunga-bunga. Di tempat itu juga dibangun pondok-pondok yang disewakan kepada petani yang mengelola pertanian di sekitar tempat pembuangan. Ketika berdiri di atasnya, kita tidak dapat merasakan bahwa di bawah tanah tempat kita berpijak dulunya adalah tempat pembuangan sampah.Peran Kaum IbuSelain Fukuoka, kami juga mengunjungi kota Kitakyushu yang berhasil mengatasi polusi udara berat tahun 1960-an. Yang menarik, gebrakan lingkungan tersebut digerakkan oleh kaum ibu yang melancarkan protes karena anak-anak mereka menderita penyakit pernapasan seperti asma dan tidak dapat bermain di luar rumah akibat udara yang sangat kotor. Teluk Dokai juga sangat terpolusi, bahkan bakteri E-Coli pun tak dapat hidup di perairan tersebut.Kaum ibu bersatu. Mereka mengumpulkan bukti-bukti betapa kotornya lingkungan mereka. Bekerja sama dengan para profesor dari universitas yang bersimpati, mereka membuat eksperimen sederhana selama berbulan-bulan, menghitung jelaga yang terkumpul di ranjang, mencatat jumlah anak-anak yang absen karena sakit pernapasan, bahkan percobaan menceburkan ikan ke mangkuk berisi air dari Teluk Dokai (ikan itu langsung mati).Meski pada awalnya langkah mereka tidak didukung kalangan industri, para politisi kota langsung merespons, karena para wanita menggunakan masalah tersebut sebagai isu dalam pemilihan. Akhirnya, tiga pihak, industri, pemerintah dan masyarakat sepakat bersatu padu, bekerja sama mengembalikan birunya langit Kitakyushu. Kini, perjuangan kaum ibu tersebut membuahkan hasil. Langit dan air Kitakyushu kembali biru. Peraturan pemerintah yang tegas, ada komitmen kaum industrialis, dan kesadaran masyarakat untuk menjaga kualitas udara dan air di kota tetap bersih. Kini di Kitakyushu dikembangkan proyek Eco-Town atau kota ramah lingkungan. Kitakyushu Eco-Town bertujuan untuk menjadi Pusat Industri Daur Ulang Internasional di Asia. Kota tersebut pertama kali diresmikan tahun 1997 oleh pemerintah Jepang dan berupaya menciptakan kondisi lingkungan dengan emisi nol, dan memanfaatkan limbah industri.
Indonesia Tak Serius Ingin Kelola Sampah
Pengantar Redaksi:Wartawan Sinar Harapan, Natalia Santi, dipilih oleh Departemen Luar Negeri Jepang mewakili Indonesia untuk mengikuti kunjungan jurnalistik ke tiga kota di Jepang, yakni Fukuoka, Kitakyushu dan Kobe, 11-19 Oktober lalu.
Tema kunjungan kali ini adalah Tackling Global Issues: Environmental Protection and Disaster Prevention Japan’s Experience, Knowledge, Technology and International Contribution.
Berikut laporannya yang ditulis dalam dua bagian hingga besok.
TOKYO – Begitu menginjakkan kaki di Tokyo, langsung terasa perbedaannya dengan Jakarta: kota ini sangat bersih dan rapih. Tak dapat disangkal Jepang adalah salah satu negara yang sukses menangani persoalan lingkungan. Kesadaran warga untuk menjaga lingkungan sangat tinggi. Kemacetan dan kebisingan jalan seperti di Jakarta tidak akan ditemukan di kota ini. Tak ada asap kendaraan yang menyesakkan dada. Sampah seperti kertas atau botol-botol plastik pun tak ditemukan. Kalau bisa dikategorikan sampah, hanyalah satu-dua daun yang berguguran.Menurut penerjemah kami selama kunjungan di Jepang, Miyako Yoshida, sebagian warga enggan membeli mobil meski mampu. Kebanyakan mereka yang tinggal di pinggiran Tokyo memilih kereta api komuter untuk sarana transportasi. Selain Tokyo memiliki masalah parkir kendaraan, (kami sempat mengalaminya, harus berjalan jauh menuju bus setelah naik kereta api Shinkasen dari Kobe), semua tempat terjangkau dengan kereta api.Warga juga memilih menggunakan sepeda menuju stasiun. Karena itu tidak heran banyak sepeda yang diparkir dekat stasiun-stasiun kereta. Polisi (Koban) juga menggunakan sepeda untuk berpatroli. Kebersihan lingkungan tidak hanya tampak di kota besar, melainkan juga daerah-daerah lain yang kami kunjungi seperti Fukuoka, Kitakyushu dan Kobe. Keindahan dan kebersihan tidak hanya terlihat di jalan-jalan tapi juga di sungai dan laut. Di sepanjang pantai yang kami lalui saat menuju tempat-tempat tujuan, tidak terlihat sampah-sampah plastik dan kertas yang berserakan. Pelabuhan Kobe pun tampak bersih, airnya jernih tanpa sampah yang terapung ataupun genangan minyak.Pembuangan SampahKami mengunjungi sistem pembuangan sampah di Fukuoka yang menggunakan metode semi-aerobik. Sistem ini dikembangkan 30 tahun lalu oleh pemerintah kota bersama Universitas Fukuoka. Sistem ini telah populer di beberapa negara. Malaysia, misalnya, telah menerapkan sistem ini di beberapa kotanya. Metode pembuangan sampah metode ini tidak memerlukan teknologi tinggi, ramah lingkungan dan biaya konstruksinya tidak terlampau mahal. Di Malaysia, bambu-bambu digunakan sebagai pengganti pipa untuk mengalirkan air lindi. Secara sederhana, sistem pembuangan sampah semi-aerobik metode Fukuoka dapat digambarkan sebagai penimbunan sampah secara berlapis. Di tiap lapisannya diberi pipa untuk mengalirkan air lindi dan pipa lain untuk menyalurkan gas metan. Pipa pengumpul terdiri atas batu-batuan dan pipa perforasi yang dipasang di bawah lahan urugan (landfill) untuk membuang air lindi secepatnya dari sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lindi keluar ke permukaan. Air lindi tersebut dikumpulkan dalam bak penampungan dan kemudian dimurnikan sebelum dibuang ke sungai atau dimanfaatkan kembali.Dengan menggunakan metode semi-aerobik, panas yang dihasilkan dekomposisi mikrobiologi sampah yang menaikkan suhu lahan urug dialirkan melalui pipa pengumpul dengan ventilasi alami. Hal ini mempercepat dekomposisi sampah.Ditanya apakah teknologi pembuangan sampah metode Fukuoka dapat dikembangkan di Indonesia, Dr. Yasushi Matsufuji dari Universitas Fukuoka mengatakan, sebenarnya dari Indonesia telah banyak yang belajar teknologi tersebut sejak 10 tahun lalu. “Setiap tahun, ada dua hingga tiga orang dari Indonesia belajar di sini,” kata Dr. Matsufuji. Kenyataan ini cukup mengejutkan, karena sesungguhnya dengan banyaknya orang Indonesia yang telah belajar, maka kalau mau Indonesia juga bisa mengelola sampahnya dengan baik.Bandingkan dengan Filipina, yang juga pernah mengirimkan hanya seorang stafnya untuk mempelajari teknologi ini, dan ternyata langsung berhasil mengembangkan di negaranya. Seperti diketahui, tahun 2000, Filipina pernah mengalami musibah longsornya timbunan sampah yang menewaskan 37 warga di Quezon City. Di Indonesia sudah ada dua kejadian seperti itu yakni di TPA Leuwi Gajah, Bandung, dan TPA Bantar Gebang, Bekasi, namun tetap saja tidak ada kemajuan dalam pengelolaan sampah.Kami juga mengunjungi bekas tempat pembuangan sampah yang telah dikelola menjadi lahan pertanian. Di atas tanah tersebut kini terhampar rumput hijau yang diselingi bunga-bunga. Di tempat itu juga dibangun pondok-pondok yang disewakan kepada petani yang mengelola pertanian di sekitar tempat pembuangan. Ketika berdiri di atasnya, kita tidak dapat merasakan bahwa di bawah tanah tempat kita berpijak dulunya adalah tempat pembuangan sampah.Peran Kaum IbuSelain Fukuoka, kami juga mengunjungi kota Kitakyushu yang berhasil mengatasi polusi udara berat tahun 1960-an. Yang menarik, gebrakan lingkungan tersebut digerakkan oleh kaum ibu yang melancarkan protes karena anak-anak mereka menderita penyakit pernapasan seperti asma dan tidak dapat bermain di luar rumah akibat udara yang sangat kotor. Teluk Dokai juga sangat terpolusi, bahkan bakteri E-Coli pun tak dapat hidup di perairan tersebut.Kaum ibu bersatu. Mereka mengumpulkan bukti-bukti betapa kotornya lingkungan mereka. Bekerja sama dengan para profesor dari universitas yang bersimpati, mereka membuat eksperimen sederhana selama berbulan-bulan, menghitung jelaga yang terkumpul di ranjang, mencatat jumlah anak-anak yang absen karena sakit pernapasan, bahkan percobaan menceburkan ikan ke mangkuk berisi air dari Teluk Dokai (ikan itu langsung mati).Meski pada awalnya langkah mereka tidak didukung kalangan industri, para politisi kota langsung merespons, karena para wanita menggunakan masalah tersebut sebagai isu dalam pemilihan. Akhirnya, tiga pihak, industri, pemerintah dan masyarakat sepakat bersatu padu, bekerja sama mengembalikan birunya langit Kitakyushu. Kini, perjuangan kaum ibu tersebut membuahkan hasil. Langit dan air Kitakyushu kembali biru. Peraturan pemerintah yang tegas, ada komitmen kaum industrialis, dan kesadaran masyarakat untuk menjaga kualitas udara dan air di kota tetap bersih. Kini di Kitakyushu dikembangkan proyek Eco-Town atau kota ramah lingkungan. Kitakyushu Eco-Town bertujuan untuk menjadi Pusat Industri Daur Ulang Internasional di Asia. Kota tersebut pertama kali diresmikan tahun 1997 oleh pemerintah Jepang dan berupaya menciptakan kondisi lingkungan dengan emisi nol, dan memanfaatkan limbah industri.
Kamis, 13 November 2008
Penyebab dan Dampak Kerusakan Lingkungan
Penyebab dan Dampak Kerusakan Lingkungan
Indonesia memiliki 10 persen hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12 persen dari jumlah spesies binatang menyusui/ mamalia, pemilik 16 persen spesies binatang reptil dan ampibi. 1.519 spesies burung dan 25 persen dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik (hanya dapat ditemui di daerah tersebut).
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85 persen dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003].
Bagaimana dengan Riau ? Sepanjang tahun 2004, seluas tidak kurang 1.008 hektare lahan di Riau hangus terbakar. Kebakaran yang terjadi itu telah menimbulkan kabut asap beberapa waktu lalu di kawasan Riau dan sekitarnya. Lahan yang terbakar tersebut seluas 1.008,51 hektar yang tersebar di enam daerah kabupaten dan kota, seperti Siak seluas 727,5 hektar, Bengkalis (152 ha), Rokan Hilir (80,75 ha), Indragiri Hilir (40,26 ha), Kota Pekanbaru (24 ha) dan Kota Dumai seluas 4 hektar. Peristiwa kebakaran hutan itu kembali terjadi pada awal tahun 2005 dengan kerugian yang tidak sedikit. (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Provinsi Riau).
Dengan kerusakan hutan Indonesia, kita akan kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sementara itu, hutan Indonesia selama ini merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, menunjukkan semakin tingginya tingkat kemiskinan rakyat Indonesia dan sebagian masyarakat miskin di Indonesia hidup berdampingan dengan hutan.
Pada tahun 1998, CIFOR, the International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan the United States Forest Service, dengan tambahan dana dari Uni Eropa, memulai studi multi disiplin yang difokuskan pada delapan lokasi rentan kebakaran di Sumatra dan Kalimantan. Untuk menentukan mengapa kebakaran bisa terjadi, siapa yang bertanggung jawab, bagaimana cara api menyebar dan jenis habitat mana yang paling berisiko.
Sebagian besar data ?hot-spot? kebakaran dan gambar satelit menunjukkan lautan api dimulai di daerah perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pulp, yang biasa menggunakan api untuk membersihkan lahan. Namun demikian, tampak jelas bahwa asal mula kebakaran juga dipicu oleh berbagai alasan. Konsesi-konsesi kayu, transmigrasi dan pembangunan perkebunan-perkebunan agro-industri membuka jalan masuk ke wilayah-wilayah yang sebelumnya terpencil. Ini mendorong peningkatan skala dan jumlah kebakaran.
Kekurangan peraturan formal yang mengatur hak-hak pemilikan umum dan swasta menyebabkan penggunaan api sebagai senjata dalam konflik-konflik kepemilikan lahan. Api juga digunakan oleh para pemilik lahan kecil untuk membersihkan lahan untuk menanam tanaman pangan dan industri, oleh para transmigran, oleh para peladang berpindah dan oleh para pemburu dan nelayan. Deforestasi dan degradasi hutan alam menyediakan sisa-sisa kayu yang mudah terbakar dan menciptakan bentang-darat yang lebih rentan api.
Ironisnya, realita ini juga diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan dianggap sebagai sumber uang dan dapat dikuras habis untuk kepentingan individu. Sumber daya alam dijadikan asset ekonomi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Hal ini terlihat ketika dengan leluasanya Pemprov Riau menjual Pasir laut ke Singapura pada kurun waktu 1978 ? 2002 dengan menyisakan kerugian besar. Ribuan hektar ?tanah air? kita berpindah tempat, sementara penderitaan terdalam dirasakan oleh rakyat kecil. Pengerukan pasir laut ini, membuat ancaman serius terhadap sektor perikanan, wisata dan wilayah territorial. Parahnya, kerusakan lingkungan itu tidak diiringi upaya pemberdayaan lingkungan hidup baik oleh pemerintah atau pihak swasta yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dan Riau pada khususnya. Justru sebaliknya malah menambah kerusakan lingkungan dengan membuang limbah industri dilahan masyarakat seperti sungai, laut atau daratan dan tindakan lain yang sifatnya merusak lingkungan.
Solusi dan Kesimpulan
Pencanangan program pemerintah yang dikoordinasikan oleh kantor Menneg LH, antara lain 7 kegiatan utama yakni bumi lestari, sumber daya alam lestari, program kali bersih, program langit biru, adipura, laut dan pantai lestari serta manajemen lingkungan memerlukan dukungan dan peran serta masyarakat luas dan instansi terkait serta masyarakat internasional dalam pelaksanaannya. Dalam kaitannya dengan "compliance and enforcement", pembentukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil/ PPNS Bidang Lingkungan, BAPEDAL juga menunjukkan kesungguhan dan komitmen pemerintah yang kuat.
Peringatan hari lingkungan hidup se-dunia dengan tema ? Green Cities ? pada 5 mei 2005 perlu diapresiasi dengan sikap aktif pro-aktif. Seyogyanya pemerintah pusat hingga pemerintah daerah melakukan aksi nyata dan tidak hanya ?panas dan meluap ? luap? pada konsep dan acara seremonial belaka. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Kota Pekanbaru dalam memperingati hari lingkungan hidup se-dunia dengan tema ??Gerakan Kota Bersih dan Hijau?? perlu dicontoh oleh kabupaten/ kota lain. Penghijauan kota dan lahan gundul serta penjagaan terhadap lingkungan laut menjadi prioritas mekanisme pembangunan bersih. Hal ini diyakini bahwa hutan merupakan paru-paru dunia yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Sedangkan laut diyakini menyimpan banyak potensi flora dan fauna yang menarik untuk dijadikan aset daerah dengan pendekatan ekowisata. Tentu pengelolaan yang rapi, sistemik dan berwawasan lingkungan menjadi ruh utama pembangunan.
Program pengentasan kemiskinan dan masalah kesehatan serta lingkungan hidup harus dilakukan segera dengan asumsi pemikiran bahwa salah satu penyebab kerusakan lingkungan hidup adalah kemiskinan yang akut di negara-negara berkembang. Tanpa penanganan yang komprehensif terhadap isu kemiskinan, maka upaya masyarakat internasional melaksanakan agenda pembangunan berkelanjutan akan sia-sia. Dalam kaitan ini, negara-negara berkembang prinsipnya sepakat bahwa kemiskinan adalah salah satu penyebab dari berbagai penyebab penting lainnya seperti pola konsumsi dan produksi yang tidak sustainable serta tidak tersedianya sumber keuangan dan teknologi yang memadai.
Pola pembangunan sebagai visi utama Gubernur Riau dengan formulasi K2i (Pembangunan pada sektor pemberantasan kebodohan, kemiskinan dan pembangunan infrastruktur) patut untuk diapresiasi. Namun konsep K2i itu perlu diterjemahkan dengan strategi pembangunan yang applicable. Sikap tegas dari Gubernur untuk melawan kebodohan dan kemiskinan jangan sampai hanya tinggal dipodium dan lembar pidato. Yang dibutuhkan saat ini adalah aksi rill dari pemerintah dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem bumi, dimana lingkungan hidup adalah mitra dari pembangunan daerah.
Kebijakan pemerintah untuk melakukan pembangunan daerah tidak hanya memperhatikan unsur ekonomi dan politik saja dengan mengesampingkan kepentingan lingkungan. Kita memang tidak bisa melakukan pemisahan antara elemen ? elemen tersebut. Gagasan Emil Salim (2002) dengan paradigma ekonomi dalam lingkungan cukup menarik untuk kita diskusikan. Menurutnya Pembangunan dengan orientasi ekonomi nasional tetap perlu digalakkan namun pemberdayaan lingkungan menjadi include didalamnya sebagai partner utama pembangunan berkelanjutan.
Kelembagaan lingkungan hidup yang sudah berdiri seperti Bapedalda dan lembaga non-pemerintah seperti WALHI, serta masyarakat luas perlu melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Pada sektor korporasi yang mengelola langsung sumber daya alam lokal, seperti CALTEX, RAPP, serta perusahaan ? perusahaan besar lainnya harus memperhatikan kesepakatan ISO-14000 yang mengamanahkan untuk meningkatkan pola produksi berwawasan lingkungan, membangun pabrik atau perusahaan hijau (green company) dengan sasaran keselamatan kerja, kesehatan dan lingkungan yang maksimal dan pola produksi dengan limbah nol (zero waste).
Meminjam AA? Gym, bahwa untuk melakukan apa yang dicita ? citakan tidak akan berhasil tanpa didukung oleh kesadaran manusianya. Maka dari itu - dalam kerangka memelihara lingkungan-mulailah dari yang kecil, seperti membuang puntung rokok pada tempatnya, Mulailah dari diri sendiri dan mulailah dari sekarang. Mari kita cintai diri kita dan makhluk lain dibumi dengan senantiasa menjaga dan memelihara lingkungan hidup.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadyah Yogyakarta dan Ketua I Ikatan Keluarga Pelajar Riau Yogyakarta asal Pasirpangaraian
Indonesia memiliki 10 persen hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12 persen dari jumlah spesies binatang menyusui/ mamalia, pemilik 16 persen spesies binatang reptil dan ampibi. 1.519 spesies burung dan 25 persen dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik (hanya dapat ditemui di daerah tersebut).
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85 persen dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003].
Bagaimana dengan Riau ? Sepanjang tahun 2004, seluas tidak kurang 1.008 hektare lahan di Riau hangus terbakar. Kebakaran yang terjadi itu telah menimbulkan kabut asap beberapa waktu lalu di kawasan Riau dan sekitarnya. Lahan yang terbakar tersebut seluas 1.008,51 hektar yang tersebar di enam daerah kabupaten dan kota, seperti Siak seluas 727,5 hektar, Bengkalis (152 ha), Rokan Hilir (80,75 ha), Indragiri Hilir (40,26 ha), Kota Pekanbaru (24 ha) dan Kota Dumai seluas 4 hektar. Peristiwa kebakaran hutan itu kembali terjadi pada awal tahun 2005 dengan kerugian yang tidak sedikit. (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Provinsi Riau).
Dengan kerusakan hutan Indonesia, kita akan kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sementara itu, hutan Indonesia selama ini merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, menunjukkan semakin tingginya tingkat kemiskinan rakyat Indonesia dan sebagian masyarakat miskin di Indonesia hidup berdampingan dengan hutan.
Pada tahun 1998, CIFOR, the International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan the United States Forest Service, dengan tambahan dana dari Uni Eropa, memulai studi multi disiplin yang difokuskan pada delapan lokasi rentan kebakaran di Sumatra dan Kalimantan. Untuk menentukan mengapa kebakaran bisa terjadi, siapa yang bertanggung jawab, bagaimana cara api menyebar dan jenis habitat mana yang paling berisiko.
Sebagian besar data ?hot-spot? kebakaran dan gambar satelit menunjukkan lautan api dimulai di daerah perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pulp, yang biasa menggunakan api untuk membersihkan lahan. Namun demikian, tampak jelas bahwa asal mula kebakaran juga dipicu oleh berbagai alasan. Konsesi-konsesi kayu, transmigrasi dan pembangunan perkebunan-perkebunan agro-industri membuka jalan masuk ke wilayah-wilayah yang sebelumnya terpencil. Ini mendorong peningkatan skala dan jumlah kebakaran.
Kekurangan peraturan formal yang mengatur hak-hak pemilikan umum dan swasta menyebabkan penggunaan api sebagai senjata dalam konflik-konflik kepemilikan lahan. Api juga digunakan oleh para pemilik lahan kecil untuk membersihkan lahan untuk menanam tanaman pangan dan industri, oleh para transmigran, oleh para peladang berpindah dan oleh para pemburu dan nelayan. Deforestasi dan degradasi hutan alam menyediakan sisa-sisa kayu yang mudah terbakar dan menciptakan bentang-darat yang lebih rentan api.
Ironisnya, realita ini juga diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan dianggap sebagai sumber uang dan dapat dikuras habis untuk kepentingan individu. Sumber daya alam dijadikan asset ekonomi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Hal ini terlihat ketika dengan leluasanya Pemprov Riau menjual Pasir laut ke Singapura pada kurun waktu 1978 ? 2002 dengan menyisakan kerugian besar. Ribuan hektar ?tanah air? kita berpindah tempat, sementara penderitaan terdalam dirasakan oleh rakyat kecil. Pengerukan pasir laut ini, membuat ancaman serius terhadap sektor perikanan, wisata dan wilayah territorial. Parahnya, kerusakan lingkungan itu tidak diiringi upaya pemberdayaan lingkungan hidup baik oleh pemerintah atau pihak swasta yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dan Riau pada khususnya. Justru sebaliknya malah menambah kerusakan lingkungan dengan membuang limbah industri dilahan masyarakat seperti sungai, laut atau daratan dan tindakan lain yang sifatnya merusak lingkungan.
Solusi dan Kesimpulan
Pencanangan program pemerintah yang dikoordinasikan oleh kantor Menneg LH, antara lain 7 kegiatan utama yakni bumi lestari, sumber daya alam lestari, program kali bersih, program langit biru, adipura, laut dan pantai lestari serta manajemen lingkungan memerlukan dukungan dan peran serta masyarakat luas dan instansi terkait serta masyarakat internasional dalam pelaksanaannya. Dalam kaitannya dengan "compliance and enforcement", pembentukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil/ PPNS Bidang Lingkungan, BAPEDAL juga menunjukkan kesungguhan dan komitmen pemerintah yang kuat.
Peringatan hari lingkungan hidup se-dunia dengan tema ? Green Cities ? pada 5 mei 2005 perlu diapresiasi dengan sikap aktif pro-aktif. Seyogyanya pemerintah pusat hingga pemerintah daerah melakukan aksi nyata dan tidak hanya ?panas dan meluap ? luap? pada konsep dan acara seremonial belaka. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Kota Pekanbaru dalam memperingati hari lingkungan hidup se-dunia dengan tema ??Gerakan Kota Bersih dan Hijau?? perlu dicontoh oleh kabupaten/ kota lain. Penghijauan kota dan lahan gundul serta penjagaan terhadap lingkungan laut menjadi prioritas mekanisme pembangunan bersih. Hal ini diyakini bahwa hutan merupakan paru-paru dunia yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Sedangkan laut diyakini menyimpan banyak potensi flora dan fauna yang menarik untuk dijadikan aset daerah dengan pendekatan ekowisata. Tentu pengelolaan yang rapi, sistemik dan berwawasan lingkungan menjadi ruh utama pembangunan.
Program pengentasan kemiskinan dan masalah kesehatan serta lingkungan hidup harus dilakukan segera dengan asumsi pemikiran bahwa salah satu penyebab kerusakan lingkungan hidup adalah kemiskinan yang akut di negara-negara berkembang. Tanpa penanganan yang komprehensif terhadap isu kemiskinan, maka upaya masyarakat internasional melaksanakan agenda pembangunan berkelanjutan akan sia-sia. Dalam kaitan ini, negara-negara berkembang prinsipnya sepakat bahwa kemiskinan adalah salah satu penyebab dari berbagai penyebab penting lainnya seperti pola konsumsi dan produksi yang tidak sustainable serta tidak tersedianya sumber keuangan dan teknologi yang memadai.
Pola pembangunan sebagai visi utama Gubernur Riau dengan formulasi K2i (Pembangunan pada sektor pemberantasan kebodohan, kemiskinan dan pembangunan infrastruktur) patut untuk diapresiasi. Namun konsep K2i itu perlu diterjemahkan dengan strategi pembangunan yang applicable. Sikap tegas dari Gubernur untuk melawan kebodohan dan kemiskinan jangan sampai hanya tinggal dipodium dan lembar pidato. Yang dibutuhkan saat ini adalah aksi rill dari pemerintah dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem bumi, dimana lingkungan hidup adalah mitra dari pembangunan daerah.
Kebijakan pemerintah untuk melakukan pembangunan daerah tidak hanya memperhatikan unsur ekonomi dan politik saja dengan mengesampingkan kepentingan lingkungan. Kita memang tidak bisa melakukan pemisahan antara elemen ? elemen tersebut. Gagasan Emil Salim (2002) dengan paradigma ekonomi dalam lingkungan cukup menarik untuk kita diskusikan. Menurutnya Pembangunan dengan orientasi ekonomi nasional tetap perlu digalakkan namun pemberdayaan lingkungan menjadi include didalamnya sebagai partner utama pembangunan berkelanjutan.
Kelembagaan lingkungan hidup yang sudah berdiri seperti Bapedalda dan lembaga non-pemerintah seperti WALHI, serta masyarakat luas perlu melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Pada sektor korporasi yang mengelola langsung sumber daya alam lokal, seperti CALTEX, RAPP, serta perusahaan ? perusahaan besar lainnya harus memperhatikan kesepakatan ISO-14000 yang mengamanahkan untuk meningkatkan pola produksi berwawasan lingkungan, membangun pabrik atau perusahaan hijau (green company) dengan sasaran keselamatan kerja, kesehatan dan lingkungan yang maksimal dan pola produksi dengan limbah nol (zero waste).
Meminjam AA? Gym, bahwa untuk melakukan apa yang dicita ? citakan tidak akan berhasil tanpa didukung oleh kesadaran manusianya. Maka dari itu - dalam kerangka memelihara lingkungan-mulailah dari yang kecil, seperti membuang puntung rokok pada tempatnya, Mulailah dari diri sendiri dan mulailah dari sekarang. Mari kita cintai diri kita dan makhluk lain dibumi dengan senantiasa menjaga dan memelihara lingkungan hidup.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadyah Yogyakarta dan Ketua I Ikatan Keluarga Pelajar Riau Yogyakarta asal Pasirpangaraian
Contoh Kerusakan lingkungan Pesisir Jawa
Contoh Kerusakan Lingkungan Pesisir Jawa
Pengantar
Indonesia dikaruniai jumlah pulau yang cukup banyak, dimana sedikitnya ada 17.508 pulau kecil maupun besar yang menaburi perairan nusantara dari Sabang hingga Marauke. Pulau Jawa merupakan salah satu pulau besar yang berada tepat di tengah-tengah perairan Indonesia. Ciri yang paling menonjol dari Pulau Jawa adalah kepadatan penduduk yang sangat tinggi (tertinggi di Indonesia), yakni hampir 60% jumlah penduduk Indonesia hidup dan tinggal di Pulau Jawa. Dari hasil Susenas 1980 hingga tahun 2000, identitas Pulau Jawa sebagai pulau terpadat di Indonesia belum juga hilang. Ironisnya, sebagian pulau lain, seperti Maluku dan Papua, yang luasnya masing-masing hampir empat dan lima kali luas Pulau Jawa hanya dihuni oleh sekitar 2 hingga 5 persen dari total penduduk Indonesia.
Praktek-praktek pembangunan yang bias daratan pasca diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 (sebelumnya UU No. 22 Tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah, mendorong percepatan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan dalam beberapa tahun terakhir. Bergesernya kepentingan eksplorasi menjadi eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan, secara besar-besaran, dirasa sudah jauh meninggalkan prinsip-prinsip keselamatan lingkungan. Hal ini tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan bio-fisik saja, namun juga turut memberikan tekanan yang cukup besar terhadap kesejahteraan masyarakat yang terlanjur menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan.
Pantai Selatan maupun Pantai Utara Jawa merupakan pusat aktivitas berbagai kegiatan perekonomian di Pulau Jawa. Berbagai aktivitas tersebut tidak lepas dari sejumlah persoalan yang cukup kompleks, mulai dari kerusakan fisik lingkungan, semakin parahnya kerusakan ekosistem pesisir dan laut hingga berbagai masalah sosial yang hadir di tengah-tengah masyarakat pesisir yang jumlahnya mencapai 65% dari seluruh penduduk Pulau Jawa.
Pembangunan yang Merusak
Sebagai pulau yang strategis dengan berbagai aktivitas perekonomian yang menjanjikan, pemerintah membangun berbagai fasilitas yang cukup fantastis di Pulau Jawa, mulai dari penyediaan kawasan industri, perkantoran, transportasi, pariwisata hingga pemukiman mewah, yang sebahagian besar didirikan disepanjang pesisir Jawa. Sayangnya, kegiatan pembangunan ini tidak mempertimbangkan fisik Pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari total luas daratan Indonesia. Akibatnya, Pulau Jawa tidak mampu menampung/memenuhi segala kegiatan tersebut. Untuk mengatasinya, pemeritah membuat kebijakan reklamasi serta berbagai bentuk konversi lahan untuk pemenuhan kegiatan pembangunan dan investasi jangka pendek, yang mengakibatkan 47 lokasi di sepanjang Pantai Utara dan Selatan Jawa telah dikonversi untuk berbagai peruntukan. Setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, lebih dari 90 desa di sepanjang Pantai Utara maupun Selatan Jawa terkena bencana abrasi. Bahkan, sebuah desa beserta 300 hektar lahan tambak masyarakat di Kabupaten Demak hilang akibat abrasi pasca kegiatan reklamasi dan pembangunan break water di pelabuhan Tanjung Mas Semarang.
Selain itu, intensitas bencana banjir dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada kurun waktu 1996 hingga 1999, setidaknya terdapat 1.289 desa terkena bencana banjir. Jumlahnya semakin meningkat hingga lebih dari 100% (2.823 desa) di akhir tahun 2003.
Masyarakat Pesisir Korban Pembangunan
Data menunjukkan bahwa sedikitnya ada 63 Kabupaten/Kota yang berada di sepanjang Pantai Utara dan Selatan Pulau Jawa dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 74.910.306 jiwa (sekitar 65% dari total penduduk Pulau Jawa). Jika dilihat tren pertumbuhan penduduk pesisir Jawa di era 90an hingga 2000an, maka pertumbuhan penduduk pesisir Jawa rata-rata sekitar 2,2% (lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk rata-rata nasional). Peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan tersebut juga diikuti secara konsisten oleh jumlah penduduk miskin yang kini mencapai 20% dari jumlah keseluruhan penduduk pesisir Pulau Jawa.
Di Propinsi Jawa tengah, misalnya, tidak kurang dari 4 juta masyarakat pesisir hidup dalam kemiskinan. Demikian juga di Propinsi Jawa Timur, setidaknya sepertiga (33,86%) dari masyarakat desa yang tinggal di pesisir dalam kondisi miskin. Bahkan, di Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Sumenep lebih dari 50% dari total jumlah penduduknya dalam kategori miskin.Selain itu, aktivitas pembangunan di Pesisir Jawa juga berimplikasi buruk terhadap kehidupan masyarakat pesisir. Kasus reklamasi Pantai Utara Jakarta seluas 2.700 Ha dengan panjang 32 Km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi, telah menyebabkan hilangnya perkampungan dan pekerjaan ribuan nelayan di Kanal muara Angke, Muara Baru, Kampung Luar Batang, pemukiman di depan Taman impian Jaya Ancol serta Marunda Pulo.
Hal serupa juga dialami oleh masyarakat pesisir Semarang, dimana pemerintah secara terang-terangan melakukan perampasan tempat tinggal, pekerjaan, dan identitas nelayan tradisional. Pencaplokan lahan masyarakat pesisir seluas 108 hektar untuk pembangunan tempat wisata dan perumahan mewah telah mengakibatkan nelayan kehilangan hak atas sumber daya pesisir dan laut sebagai tempat hidup dan mencari penghidupan. Pasca pencaplokan tersebut, tercatat 20 orang perempuan dari desa pesisir tersebut terpaksa menjadi pekerja seks akibat hilangnya sumber pencahariaan mereka sebagai pengolah hasil perikanan pasca tangkap, seperti pengasapan ikan dan terasi. Sedangkan sebagian besar nelayan terpaksa menjadi kuli bangunan, penarik becak, dan buruh pabrik untuk memenuhi kebutuhan hidup ala kadarnya. Gizi dan kesehatan tidak lagi menjadi perhatian masyarakat, akibatnya berbagai wabah penyakit, seperti disentri, malaria, demam berdarah, dan penyakit kulit bermunculan. Kejadian yang lebih menyedihkan lagi bahwa 5 bayi meninggal di tahun 2000 akibat kurang gizi, dan satu di antaranya tanpa tempurung kepala.
Menyelamatkan Pulau Jawa, Menyelamatkan 60% Penduduk IndonesiaMenyelamatkan Pesisir Jawa, Menyelamatkan 65% Penduduk Pulau Jawa
Dengan fakta-fakta:
Bahwa 60% penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa;
Bahwa 65% penduduk Pulau Jawa hidup di daerah pesisir dan sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas sumber daya pesisir dan laut;
Bahwa pertumbuhan penduduk pesisir Jawa rata-rata cukup tinggi, mencapai 2,2% pertahun (di atas pertumbuhan penduduk rata-rata nasional);
Bahwa luas Pulau Jawa hanya 7% dari total pulau di Indonesia;
Bahwa lebih dari 20% nelayan Indonesia merupakan nelayan yang berasal dari Pulau Jawa;
Bahwa peningkatan jumlah nelayan di Pulau Jawa setiap tahunnya mencapai 13%;
Bahwa hampir 20% masyarakat pesisir yang tinggal dan hidup di daerah pesisir Jawa berkutat dalam kemiskinan;
Bahwa hampir 3.000 desa di Pesisir Jawa mengalami bencana banjir setiap tahunnya;
Bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, setidaknya terdapat 90 lokasi pesisir Jawa mengalami bencana abrasi pantai hingga puluhan kilometer;
Maka hal tersebut di atas, telah mengisyaratkan bahwa kegiatan pembangunan dengan pola-pola perusakan lingkungan pesisir yang dilakukan selama ini sudah berdampak buruk terhadap kualitas lingkungan secara keseluruhan. Eksploitasi sumber daya pesisir, secara besar-besaran, telah nyata mengundang berbagai bencana alam di Pulau Jawa. Hal ini juga telah mengakibatkan keterpurukan masyarakat dalam kesehariannya, mulai dari kehilangan hak atas pekerjaan, kehilangan hak atas tempat tinggal, hingga kehilangan hak atas pelayanan kesehatan yang memadai. Untuk itu, diperlukan pola pembangunan pulau dengan memperhatikan daya dukung pulau, khususnya daerah Pesisir Jawa yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
Pengantar
Indonesia dikaruniai jumlah pulau yang cukup banyak, dimana sedikitnya ada 17.508 pulau kecil maupun besar yang menaburi perairan nusantara dari Sabang hingga Marauke. Pulau Jawa merupakan salah satu pulau besar yang berada tepat di tengah-tengah perairan Indonesia. Ciri yang paling menonjol dari Pulau Jawa adalah kepadatan penduduk yang sangat tinggi (tertinggi di Indonesia), yakni hampir 60% jumlah penduduk Indonesia hidup dan tinggal di Pulau Jawa. Dari hasil Susenas 1980 hingga tahun 2000, identitas Pulau Jawa sebagai pulau terpadat di Indonesia belum juga hilang. Ironisnya, sebagian pulau lain, seperti Maluku dan Papua, yang luasnya masing-masing hampir empat dan lima kali luas Pulau Jawa hanya dihuni oleh sekitar 2 hingga 5 persen dari total penduduk Indonesia.
Praktek-praktek pembangunan yang bias daratan pasca diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 (sebelumnya UU No. 22 Tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah, mendorong percepatan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan dalam beberapa tahun terakhir. Bergesernya kepentingan eksplorasi menjadi eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan, secara besar-besaran, dirasa sudah jauh meninggalkan prinsip-prinsip keselamatan lingkungan. Hal ini tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan bio-fisik saja, namun juga turut memberikan tekanan yang cukup besar terhadap kesejahteraan masyarakat yang terlanjur menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan.
Pantai Selatan maupun Pantai Utara Jawa merupakan pusat aktivitas berbagai kegiatan perekonomian di Pulau Jawa. Berbagai aktivitas tersebut tidak lepas dari sejumlah persoalan yang cukup kompleks, mulai dari kerusakan fisik lingkungan, semakin parahnya kerusakan ekosistem pesisir dan laut hingga berbagai masalah sosial yang hadir di tengah-tengah masyarakat pesisir yang jumlahnya mencapai 65% dari seluruh penduduk Pulau Jawa.
Pembangunan yang Merusak
Sebagai pulau yang strategis dengan berbagai aktivitas perekonomian yang menjanjikan, pemerintah membangun berbagai fasilitas yang cukup fantastis di Pulau Jawa, mulai dari penyediaan kawasan industri, perkantoran, transportasi, pariwisata hingga pemukiman mewah, yang sebahagian besar didirikan disepanjang pesisir Jawa. Sayangnya, kegiatan pembangunan ini tidak mempertimbangkan fisik Pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari total luas daratan Indonesia. Akibatnya, Pulau Jawa tidak mampu menampung/memenuhi segala kegiatan tersebut. Untuk mengatasinya, pemeritah membuat kebijakan reklamasi serta berbagai bentuk konversi lahan untuk pemenuhan kegiatan pembangunan dan investasi jangka pendek, yang mengakibatkan 47 lokasi di sepanjang Pantai Utara dan Selatan Jawa telah dikonversi untuk berbagai peruntukan. Setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, lebih dari 90 desa di sepanjang Pantai Utara maupun Selatan Jawa terkena bencana abrasi. Bahkan, sebuah desa beserta 300 hektar lahan tambak masyarakat di Kabupaten Demak hilang akibat abrasi pasca kegiatan reklamasi dan pembangunan break water di pelabuhan Tanjung Mas Semarang.
Selain itu, intensitas bencana banjir dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada kurun waktu 1996 hingga 1999, setidaknya terdapat 1.289 desa terkena bencana banjir. Jumlahnya semakin meningkat hingga lebih dari 100% (2.823 desa) di akhir tahun 2003.
Masyarakat Pesisir Korban Pembangunan
Data menunjukkan bahwa sedikitnya ada 63 Kabupaten/Kota yang berada di sepanjang Pantai Utara dan Selatan Pulau Jawa dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 74.910.306 jiwa (sekitar 65% dari total penduduk Pulau Jawa). Jika dilihat tren pertumbuhan penduduk pesisir Jawa di era 90an hingga 2000an, maka pertumbuhan penduduk pesisir Jawa rata-rata sekitar 2,2% (lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk rata-rata nasional). Peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan tersebut juga diikuti secara konsisten oleh jumlah penduduk miskin yang kini mencapai 20% dari jumlah keseluruhan penduduk pesisir Pulau Jawa.
Di Propinsi Jawa tengah, misalnya, tidak kurang dari 4 juta masyarakat pesisir hidup dalam kemiskinan. Demikian juga di Propinsi Jawa Timur, setidaknya sepertiga (33,86%) dari masyarakat desa yang tinggal di pesisir dalam kondisi miskin. Bahkan, di Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Sumenep lebih dari 50% dari total jumlah penduduknya dalam kategori miskin.Selain itu, aktivitas pembangunan di Pesisir Jawa juga berimplikasi buruk terhadap kehidupan masyarakat pesisir. Kasus reklamasi Pantai Utara Jakarta seluas 2.700 Ha dengan panjang 32 Km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi, telah menyebabkan hilangnya perkampungan dan pekerjaan ribuan nelayan di Kanal muara Angke, Muara Baru, Kampung Luar Batang, pemukiman di depan Taman impian Jaya Ancol serta Marunda Pulo.
Hal serupa juga dialami oleh masyarakat pesisir Semarang, dimana pemerintah secara terang-terangan melakukan perampasan tempat tinggal, pekerjaan, dan identitas nelayan tradisional. Pencaplokan lahan masyarakat pesisir seluas 108 hektar untuk pembangunan tempat wisata dan perumahan mewah telah mengakibatkan nelayan kehilangan hak atas sumber daya pesisir dan laut sebagai tempat hidup dan mencari penghidupan. Pasca pencaplokan tersebut, tercatat 20 orang perempuan dari desa pesisir tersebut terpaksa menjadi pekerja seks akibat hilangnya sumber pencahariaan mereka sebagai pengolah hasil perikanan pasca tangkap, seperti pengasapan ikan dan terasi. Sedangkan sebagian besar nelayan terpaksa menjadi kuli bangunan, penarik becak, dan buruh pabrik untuk memenuhi kebutuhan hidup ala kadarnya. Gizi dan kesehatan tidak lagi menjadi perhatian masyarakat, akibatnya berbagai wabah penyakit, seperti disentri, malaria, demam berdarah, dan penyakit kulit bermunculan. Kejadian yang lebih menyedihkan lagi bahwa 5 bayi meninggal di tahun 2000 akibat kurang gizi, dan satu di antaranya tanpa tempurung kepala.
Menyelamatkan Pulau Jawa, Menyelamatkan 60% Penduduk IndonesiaMenyelamatkan Pesisir Jawa, Menyelamatkan 65% Penduduk Pulau Jawa
Dengan fakta-fakta:
Bahwa 60% penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa;
Bahwa 65% penduduk Pulau Jawa hidup di daerah pesisir dan sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas sumber daya pesisir dan laut;
Bahwa pertumbuhan penduduk pesisir Jawa rata-rata cukup tinggi, mencapai 2,2% pertahun (di atas pertumbuhan penduduk rata-rata nasional);
Bahwa luas Pulau Jawa hanya 7% dari total pulau di Indonesia;
Bahwa lebih dari 20% nelayan Indonesia merupakan nelayan yang berasal dari Pulau Jawa;
Bahwa peningkatan jumlah nelayan di Pulau Jawa setiap tahunnya mencapai 13%;
Bahwa hampir 20% masyarakat pesisir yang tinggal dan hidup di daerah pesisir Jawa berkutat dalam kemiskinan;
Bahwa hampir 3.000 desa di Pesisir Jawa mengalami bencana banjir setiap tahunnya;
Bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, setidaknya terdapat 90 lokasi pesisir Jawa mengalami bencana abrasi pantai hingga puluhan kilometer;
Maka hal tersebut di atas, telah mengisyaratkan bahwa kegiatan pembangunan dengan pola-pola perusakan lingkungan pesisir yang dilakukan selama ini sudah berdampak buruk terhadap kualitas lingkungan secara keseluruhan. Eksploitasi sumber daya pesisir, secara besar-besaran, telah nyata mengundang berbagai bencana alam di Pulau Jawa. Hal ini juga telah mengakibatkan keterpurukan masyarakat dalam kesehariannya, mulai dari kehilangan hak atas pekerjaan, kehilangan hak atas tempat tinggal, hingga kehilangan hak atas pelayanan kesehatan yang memadai. Untuk itu, diperlukan pola pembangunan pulau dengan memperhatikan daya dukung pulau, khususnya daerah Pesisir Jawa yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
Langganan:
Postingan (Atom)