Jumat, 14 November 2008

Pelestarian Lingkungan di Jepang
Indonesia Tak Serius Ingin Kelola Sampah


Pengantar Redaksi:Wartawan Sinar Harapan, Natalia Santi, dipilih oleh Departemen Luar Negeri Jepang mewakili Indonesia untuk mengikuti kunjungan jurnalistik ke tiga kota di Jepang, yakni Fukuoka, Kitakyushu dan Kobe, 11-19 Oktober lalu.

Tema kunjungan kali ini adalah Tackling Global Issues: Environmental Protection and Disaster Prevention Japan’s Experience, Knowledge, Technology and International Contribution.
Berikut laporannya yang ditulis dalam dua bagian hingga besok.


TOKYO – Begitu menginjakkan kaki di Tokyo, langsung terasa perbedaannya dengan Jakarta: kota ini sangat bersih dan rapih. Tak dapat disangkal Jepang adalah salah satu negara yang sukses menangani persoalan lingkungan. Kesadaran warga untuk menjaga lingkungan sangat tinggi. Kemacetan dan kebisingan jalan seperti di Jakarta tidak akan ditemukan di kota ini. Tak ada asap kendaraan yang menyesakkan dada. Sampah seperti kertas atau botol-botol plastik pun tak ditemukan. Kalau bisa dikategorikan sampah, hanyalah satu-dua daun yang berguguran.Menurut penerjemah kami selama kunjungan di Jepang, Miyako Yoshida, sebagian warga enggan membeli mobil meski mampu. Kebanyakan mereka yang tinggal di pinggiran Tokyo memilih kereta api komuter untuk sarana transportasi. Selain Tokyo memiliki masalah parkir kendaraan, (kami sempat mengalaminya, harus berjalan jauh menuju bus setelah naik kereta api Shinkasen dari Kobe), semua tempat terjangkau dengan kereta api.Warga juga memilih menggunakan sepeda menuju stasiun. Karena itu tidak heran banyak sepeda yang diparkir dekat stasiun-stasiun kereta. Polisi (Koban) juga menggunakan sepeda untuk berpatroli. Kebersihan lingkungan tidak hanya tampak di kota besar, melainkan juga daerah-daerah lain yang kami kunjungi seperti Fukuoka, Kitakyushu dan Kobe. Keindahan dan kebersihan tidak hanya terlihat di jalan-jalan tapi juga di sungai dan laut. Di sepanjang pantai yang kami lalui saat menuju tempat-tempat tujuan, tidak terlihat sampah-sampah plastik dan kertas yang berserakan. Pelabuhan Kobe pun tampak bersih, airnya jernih tanpa sampah yang terapung ataupun genangan minyak.Pembuangan SampahKami mengunjungi sistem pembuangan sampah di Fukuoka yang menggunakan metode semi-aerobik. Sistem ini dikembangkan 30 tahun lalu oleh pemerintah kota bersama Universitas Fukuoka. Sistem ini telah populer di beberapa negara. Malaysia, misalnya, telah menerapkan sistem ini di beberapa kotanya. Metode pembuangan sampah metode ini tidak memerlukan teknologi tinggi, ramah lingkungan dan biaya konstruksinya tidak terlampau mahal. Di Malaysia, bambu-bambu digunakan sebagai pengganti pipa untuk mengalirkan air lindi. Secara sederhana, sistem pembuangan sampah semi-aerobik metode Fukuoka dapat digambarkan sebagai penimbunan sampah secara berlapis. Di tiap lapisannya diberi pipa untuk mengalirkan air lindi dan pipa lain untuk menyalurkan gas metan. Pipa pengumpul terdiri atas batu-batuan dan pipa perforasi yang dipasang di bawah lahan urugan (landfill) untuk membuang air lindi secepatnya dari sistem. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lindi keluar ke permukaan. Air lindi tersebut dikumpulkan dalam bak penampungan dan kemudian dimurnikan sebelum dibuang ke sungai atau dimanfaatkan kembali.Dengan menggunakan metode semi-aerobik, panas yang dihasilkan dekomposisi mikrobiologi sampah yang menaikkan suhu lahan urug dialirkan melalui pipa pengumpul dengan ventilasi alami. Hal ini mempercepat dekomposisi sampah.Ditanya apakah teknologi pembuangan sampah metode Fukuoka dapat dikembangkan di Indonesia, Dr. Yasushi Matsufuji dari Universitas Fukuoka mengatakan, sebenarnya dari Indonesia telah banyak yang belajar teknologi tersebut sejak 10 tahun lalu. “Setiap tahun, ada dua hingga tiga orang dari Indonesia belajar di sini,” kata Dr. Matsufuji. Kenyataan ini cukup mengejutkan, karena sesungguhnya dengan banyaknya orang Indonesia yang telah belajar, maka kalau mau Indonesia juga bisa mengelola sampahnya dengan baik.Bandingkan dengan Filipina, yang juga pernah mengirimkan hanya seorang stafnya untuk mempelajari teknologi ini, dan ternyata langsung berhasil mengembangkan di negaranya. Seperti diketahui, tahun 2000, Filipina pernah mengalami musibah longsornya timbunan sampah yang menewaskan 37 warga di Quezon City. Di Indonesia sudah ada dua kejadian seperti itu yakni di TPA Leuwi Gajah, Bandung, dan TPA Bantar Gebang, Bekasi, namun tetap saja tidak ada kemajuan dalam pengelolaan sampah.Kami juga mengunjungi bekas tempat pembuangan sampah yang telah dikelola menjadi lahan pertanian. Di atas tanah tersebut kini terhampar rumput hijau yang diselingi bunga-bunga. Di tempat itu juga dibangun pondok-pondok yang disewakan kepada petani yang mengelola pertanian di sekitar tempat pembuangan. Ketika berdiri di atasnya, kita tidak dapat merasakan bahwa di bawah tanah tempat kita berpijak dulunya adalah tempat pembuangan sampah.Peran Kaum IbuSelain Fukuoka, kami juga mengunjungi kota Kitakyushu yang berhasil mengatasi polusi udara berat tahun 1960-an. Yang menarik, gebrakan lingkungan tersebut digerakkan oleh kaum ibu yang melancarkan protes karena anak-anak mereka menderita penyakit pernapasan seperti asma dan tidak dapat bermain di luar rumah akibat udara yang sangat kotor. Teluk Dokai juga sangat terpolusi, bahkan bakteri E-Coli pun tak dapat hidup di perairan tersebut.Kaum ibu bersatu. Mereka mengumpulkan bukti-bukti betapa kotornya lingkungan mereka. Bekerja sama dengan para profesor dari universitas yang bersimpati, mereka membuat eksperimen sederhana selama berbulan-bulan, menghitung jelaga yang terkumpul di ranjang, mencatat jumlah anak-anak yang absen karena sakit pernapasan, bahkan percobaan menceburkan ikan ke mangkuk berisi air dari Teluk Dokai (ikan itu langsung mati).Meski pada awalnya langkah mereka tidak didukung kalangan industri, para politisi kota langsung merespons, karena para wanita menggunakan masalah tersebut sebagai isu dalam pemilihan. Akhirnya, tiga pihak, industri, pemerintah dan masyarakat sepakat bersatu padu, bekerja sama mengembalikan birunya langit Kitakyushu. Kini, perjuangan kaum ibu tersebut membuahkan hasil. Langit dan air Kitakyushu kembali biru. Peraturan pemerintah yang tegas, ada komitmen kaum industrialis, dan kesadaran masyarakat untuk menjaga kualitas udara dan air di kota tetap bersih. Kini di Kitakyushu dikembangkan proyek Eco-Town atau kota ramah lingkungan. Kitakyushu Eco-Town bertujuan untuk menjadi Pusat Industri Daur Ulang Internasional di Asia. Kota tersebut pertama kali diresmikan tahun 1997 oleh pemerintah Jepang dan berupaya menciptakan kondisi lingkungan dengan emisi nol, dan memanfaatkan limbah industri.

Tidak ada komentar: